Konflik Pada Masa kekhalifaan Utsman bin Affan Hinggga Ali bin Abi Thalib
Seperti halnya ilmu-ilmu keislaman lainnya, Ilmu Kalam dan Teologi Islam dapat dipastikan secara historis baru muncul beberapa dekade setelah Rasulullullah SAW meninggal. Namun jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya, Ilmu kalam atau teologi Islam muncul sebagai akibat dari perpecahan sosial-keagamaan dalam tubuh ummat Islam. Kekacauan sosial-keagamaan yang dimaksudkan diawali dengan peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan (664-655 SM), yang mana dalam pengistilaan populer dalam sejarah kita kenal dengan istilah al-fitnah al-kubra (fitnah besar). Dalam pandangan Nurcholis Majid (1939-2005), fitnah besar tersebut merupakan pijakan pertumbuhan dan polarisai masyarakat dan agama Islam ke dalam berbagai bidang seperti politik, sosial dan paham keagamaan. Dengan demikian, penulis dalam hal ini menjadikan pembunuhan khalifah ke tiga sebagai titik tolak dalam melakukan pelacakan-pelacakan historis pembentukan dan perkembangan ilmu kalam atau teologi dalam Islam.
Pemerintahan khalifah Utsman bin Affan berlangsung selama 12 tahun. Dimana tahun-tahun terakhir dari masa kekhalifaannya banyak dari kalangan umat Islam yang muncul perasaan tidak puas dan kecewa terhadapnya. Pandangan
Sejarah dan Latarbelakang Lahirnya Ilmu Kalam — Pakatuwo 2
semacam itu muncul sebagai akibat dari langkah dan kebijakan politiknya, yang sebagaian besar kalangan umat Islam menilainya sebagai “Nepotisme”. Umat pada saat itu merasakan kepemimpinan pada masa Utsman sangat berbeda dengan kepemimpinan dua khalifah sebelumnya yakni Abu Bakar Ash-Shiddiq (573M-634 M) dan Umar bin Khattab (584-644 M). Selain dikarenakan umurnya sudah lanjut (diangkat menjadi khalifah saat usianya 70 tahun) dan sifatnya yang lemah lembut faktor lain yang menyebabkan banyaknya rakyat yang kecewa yakni kebijaksanaannya yang mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Salah satu diantaranya adalah Marwah ibn Hakam (623-685 M), dialah pada dasarnya menjalankan pemerintahan sedangkan Utsman hanya menyandang gelar Khalifah
Setelah banyaknya anggota keluarga Utsman yang menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan, harta kekayaan negara dibagi-bagi tanpa terkontrol oleh Utsman sendiri, serta beliau juga dipandang tidak tegas dengan bawahannya yang melakukan kesalahan. Di luar dari persoalan tersebut, tanpa mengingkari jasa dan keistimewaannya sebagai seorang sahabat, bukan berarti bahwa pada masa pemerintahannya Utsman tidak melakukan kegiatan yang berimbas pada kemaslahatan rakyatnya. Dalam hal ini usman berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus air serta mengatur pembagian air ke kota, ia juga membangun jalan, jembatan, serta memperluas mesjid nabi di Madina.
Berdasarkan kebijakan-kebijakan politis di atas, yang oleh banyak tokoh dan pembesar umat Islam pada saat itu dipandangnya sebagai tindakan yang kurang adil dan bijaksana. Maka sebagai dampak dari kebijakan tersebut, Ustman bin Affan dihadapkan pada berbagai protes dari hampir seluruh kalangan umat Islam pada saat itu, termasuk di dalamnya kelompok-kelompok yang semula memberi dukungan terhadap dirinya. Awalnya para pemprotes tersebut hanya menghendaki Utsman bin Affan untuk mundur dari jabatan kekhalifaannya, hanya saja lama kelamaan sebagian kelompok umat Islam dari garis keras secara ekstrim menuntut agar Utsman bin Affan disingkirkan dengan paksa. Dalam beberapa literatur menyebutkan bahwa sejumlah pembesar sahabat waktu itu seperti Ali bin Abi Thalib (559-611 M) telah berusaha menghalangi kelompok ekstrimis dari Mesir tersebut dengan menawarkan tawaran solusi kompromi, akan tetapi langkah itu tidak berhasil dan pada tahun 656 M mereka berhasil melakukan pembunuhan kepada khalifah Ustman bin Affan.
Setelah Utsman bin Affan wafat, masyarakat pada waktu itu beramai-ramai membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah yang ke empat, meskin dalam beberapa literatur dikatakan bahwa pembaiatan ini tidak diikuti pernyataan baiat setia ummat Islam secara bulat dan utuh. Hal ini dikarenakan kelompok tertentu dari bani Umayyah yang dipimpin oleh Muawiyah bin Abi Sufyan (602-680 M) gubernur Damaskus, menangguhkan baiatnya hingga Ali bin Abi Thalib menangkap dan mengadili para pihak yang diduga sebagai aktor di balik terbunuhnya Ustman bin Affan. Selain itu, juga beberapa riwayat mengatakan bahwa beberapa tokoh sahabat seperti Talhah dan Zubair bersedia membaiat jika mereka sudah diangkat sebagai gubernur di Kufah dan Basrah. Pengukuhan Ali bin Abi Thalib tidak semulus pengukuhan tiga khalifah sebelumnya. Ali dibaiat di tengah-tengah suasana berkabung atas meninggalnya Utsman serta beberapa kekacauan dan pertentangan berbau politisi lainnya. Dalam sejarah dicatat masa pemerintahan Ali hanya berlangsung selama 6 tahun, selama masa pemerintahannya ia menghadapi berbagai macam pergolakan dan jauh dari kata stabil.
Setelah menduduki kekhalifaan, sebagai langkah pertama, Ali memecat para gubernur yang diangkat oleh Utsman, yang menurutnya karena keteledoran para gubernur inilah yang menyebabkan kebanyakan masyarakat mengalami pemberontakan. Selain itu, beliau juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Utsman kepada para keluarga dan kaum kerabatnya tanpa alasan yang benar, memberi kaum muslimin tunjangan yang diambil dari baitulmal, seperti yang telah dilakukan pada masa Abu Bakar, tata laksana pemerintahan untuk mengembalikan kepentingan ummat, serta mengatur meninggalkan kota Madina dan menjadikan Kufa sebagai Pusat Pemerintahan.
Pemberontakan pertama diawali oleh Thalhah dan Zubair. Hal yang mendasari dibalik pemberontakan itu bahwasanya Ali tidak mau menghukum para pembunuh Utsman dan mereka menuntut bela terhadap darah Utsman yang ditumpahkan secara salim. Penolakan ini kemudian tersampaikan kepada Aisyah yang
dalam sejarah beliau pulang dari Mekah yang tidak tahu mengenai kematian Utsman, sementara Talhah dan subair waktu itu dalam perjalanan menuju bazrah. Dalam hal ini Sitti Aisyah pun bergabung dalam pemberontakan tersebut.
Dalam beberapa literatur, Ali sangat ingin menghindari perang. Dia kemudian mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding dan menyelesaikan perkara tersebut secara damai. Tapi, ajakan Ali tidak diindahkan oleh Thalhah dan Zubair yang kemudian berujung pada pertempuran yang sekarang ini dalam sejarah kita kenal sebagai perang Jamal (perang Unta 36 H). Perang ini kemudian dimenangkan oleh Ali. Dilain pihak Thalhah dan Zubair terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dipulangkan ke Madinah.
Dilain situasi, kebijakan-kebijakan yang coba dirintis oleh Ali juga mengalami perlawanan dari gubernur Damaskus yang saat itu dijabat oleh Muawiyah serta sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaannya. Utsman adalah kerabatnya dan sebagai kepala baru dinasti Umayyah, Muawiyah dalam hal ini merasa bertanggung jawab untuk membalas kematian kerabatnya itu. Disamping itu ia juga didukung oleh beberapa suku mekah yang kaya serta orang-orang Arab suriah yang menghargai kepempinannya yang kuat dan bijak sana. Ali pada awalnya tidak mengambil langkah apapun terhadapnya. Hal ini dimungkinkan bahwa Ali menaruh simpati yang besar atas posisi Muawiyah yang sedang berkabung, di samping itu menurutnya memalukan jika para kerabat dan sahabat Nabi saling menyerang satu sama lain. Apa lagi salah satu misi Nabi Muhammad adalah untuk mempromosikan kesatuan dan memadukan umat Islam sehingga mencerminkan keesaan Tuhan.
Sebelum perang Siffin terjadi, Ali kerap kali mengutus utusannya kepada Muawiyah agar berdamai, namun hal ini tidak membuahkan apa-apa. Dalam pandangan Ali, jika dibiarkan seperti ini terus akan sangat berbahaya. Seluruh kedaulatan Islam sudah berada di bawah satu bendera kecuali Muawiyah. Ali memang berinisiatif ingin menyelesaikan masalah ini dengan damai, berapapun harga yang harus dibayar. Maka ia kembali mengirim surat kepada Muawiyah dan meminta agar ia mau membaiatnya demi kepentingan Islam dan seluruh umat Muslim. Tetapi rupanya Muawiyah tetap bersikeras menolaknya dengan alasan, ia tidak akan membaiat Ali sebelum pembunuh Utsman dihukum.
Melihat situasi yang semakin memanas, Ali meminta kepada pasukannya agar segera bersiap-siap. Dalam sejarah mengatakan ada 50.000 orang memenuhi seruan Ali tersebut kemudian berkumpul disekitarnya dan bersiap berangkat ke Suriah. Di lain pihak Muawiyah juga segara mempersiapkan kekuatan yang lebih besar, dan cepat-cepat berangkat menempati posisi yang strategis di seberang Siffin. Ketika kedua pasukan sudah hampir berhadapan, Ali masih mengirim 3 orang juru runding kepada Muawiyah, tetapi jawaban Muawiyah masih tetap pada tuntutannya, tanpa kompromi. Pada akhirnya peperangan ini pun terjadi di kota Siffin pada tahun 37 H yang hampir saja dimenangkan oleh ke Khalifah Ali.
Muawiyah pada situasi yang sudah terpojok, dari kubunya muncul seorang politikus ulung yang cukup terkenal di Semenanjung Arab, ia adalah Amr bin Ash. Ia kemudian menyarankan kepada Muawiyah agar pasukannya yang berada pada barisan terdepan agar mengikat mushaf Qur’an ke ujung tombak sebagai tanda perang harus dihentikan dan segera dilaksanakan perundingan dengan keputusan berdasarkan hukum Qur’an. Dalam sejarah, cara ini kita kenal dengan istilah tahkim. Khalifah Ali menyadari bahwa hal itu merupakan siasat dan hanya permainan politik belaka dari pihak Muawiyah. Tetapi sebagaian pemuka dari pasukan Ali tidak sependapat, mereka sudah jemu berperang dan siap melakukan perundingan, mengingat perang ini sudah berlangsung selama tiga bulan lamanya. Perbedaan pendapat dikubuh Ali telah menimbulkan ketidak serasian, antara Ali yang ingin terus berperang karena menganggap hal yang ditawarkan Muawiyah hanyalah sebuah siasat dan sebagaian pengikutnya yang setuju dengan gencatan senjata.
Akhirnya perundingan damai berlangsung pada bulan Ramadhan 24 H. Maka setiap kubuh menunjuk seorang juru bicara yang akan menjadi penengah dalam perundingan. Dari pihak Muawiya dipilihnya Amr bin Ash sedangkan dari pihak Ali diusulkan Abdullah bin Abbas, tetapi lagi-lagi pilihan Ali itu diprotes oleh sebagian tentaranya, dengan alasan bahwa Abdullah bin Abbas adalah kerabat Ali, putra pamannya. Pada akhirnya, dari kubu Ali
Sejarah dan Latarbelakang Lahirnya Ilmu Kalam — Pakatuwo 4
dipilihlah Abu Musa al-Asy,ari, yang pada dasarnya kedua utusan ini memiliki watak yang sangat bertolak belakang. Amr bin Ash dikenal dengan kepandaian siasatnya sementara Abu Musa adalah orang lurus, rendah hati serta mengutamakan kedamaian.
Dalam beberapa litareratur dijelaskan bahwa ketika perundingan selesai Abu Musa meminta kepada Amr bin Ash, agar ia mengumumkan hasil kepetusan itu. Tetapi Amr dalam hal ini, yang konon dengan kerendahan hati dan hormatnya agar Abu Musa yang maju terlebih dulu menyampaikan hasil tahkim tersebut. Abu Musa pun maju dan berkata dihadapan para tentara, “setelah kami mengadakan pembahasan, kami tidak menemukan jalan keluar yang lebih baik guna mengatasi kemelut ini selain mengambil langkah ini demi kebaikan kita semua, yaitu kami sudah sama-sama memecat Ali dan Muawiyah yang selanjutnya kita kembalikan ke majelis syura diantara kaum Muslimin sendiri.” Setelah itu Amr bin Ash maju dan berkata, “Abu Musa telah memecat sahabatnya itu, dan saya iku memecat orang yang telah di pecatnya, tetapi saya akan mengukuhkan sahabat saya Muawiyah. Dia adalah wakil Utsman bin Affan dan yang paling berhak menuntut itu. Dialah yang paling tepat untuk kedudukan itu.” Abu Musa memprotes tindakan Amr itu sebagai sebuah penipuan. Dalam beberapa pihak suriah bersuka ria. Mereka mengelu-elukan muawiyah dan langkah yang paling awal dilakukan Muawiyah yakni mengukuhkan dirinya sebagai khalifah.
Tahkim yang pada awalnya ditempuh untuk mempertemukan kedua belah pihak yang berperang sehingga diharapkan terciptanya persatuan dikalangan umat Islam, justru lebih buruk. Sejarah mencatat bahwa penyelesaian sengketa dengan cara tahkim antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan, ternyata tidak mampu memperjernih persoalan. Sebaliknya, kondisi pertikaian bertambah runcing. Bagaimanapun dalam peristiwa tersebut Ali bin Abi Talib merasa dirugikan. Muawiyah yang semula kedudukannya hanya sebagai gubernur naik menjadi khalifah setelah arbitrase, meskipun secara tidak resmi. Tidak mengherankan putusan ini ditolak oleh Ali hingga beliau terbunuh.
Di tahun 39 H, Ali dan Muawiyah menjalin kesepakatan agar perang diantara mereka dihentikan. Dengan syarat, Muawiyah menguasai Suriah tanpa campur tangan dari Amirul Mukminin. Di tahun selanjutnya yakni 40 H, tiga orang Khawarij diutus untuk membunuh Muawiyah, Ali serta dua orang juru bicaranya saat arbitrase. Ketiganya gagal terbunuh kecuali Ali. Dalam sejarah dikatakan saat Ali hendak membangunkan orang-orang untuk shalat ketika menjelang fajar, dua orang Khawarij mengikutinya kemudian mereka membunuhnya di depan pintu Mesjid Kufah. Ali wafat tepatnya tanggal 14 Ramadhan 40 H/ 661 M.
Selanjutnya kedudukan Ali sebagai khalifah dijabat oleh anaknya, Hasan selama beberapa bulan. Dikarenakan Hasan ternyata lemah dan dilain pihak Muawiyah semakin kuat, maka hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian inilah yang membuat umat Islam kembali bersatu dalam kepempinan politik di bawah Muawiyah bin Abu Sufyan. Di samping itu Muawiyah juga menjadi pemimpin absolut dalam Islam tahun 41 H. Tahun persatuan inilah yang pada akhirnya dikenal dalam sejarah sebagai tahun jamaah, dan dengan ini berakhirlah masa Khulafaur Rasyidin dan dimulailah kekuasaan Bani Umayya dalam sejarah politik Islam.
Implikasi Timbulnya Aliran-Aliran Ilmu Kalam.
Seperti yang telah dipaparkan di atas. Perang yang berakhir dengan tahkim, ternyata tidak menyelesaikan masalah antara kedua belah pihak yakni pihak Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sofyan. Sebaliknya justru menimbulkan pihak yang ketiga yakni dari golongan Khawarij, yaitu orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Maka dapat kita lihat bahwa di akhir pemerinahan Ali bin Abi Thalib, umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Muawiyah, Syi’ah (pengikut Ali) dan Khawarij. Terbentuknya kelompok khawarij ini juga berimbas pada melemahnya kekuatan pasukan Ali bin Abi Thalib.
Sebagian kelompok Khawarij ini sewaktu masih pengikut imam Ali, dikenal dengan nama al-qurra (para pembaca dan penghafal al-qur’an). Selain itu mereka juga terkenal dengan simbol dan ciri mereka yang selalu memakai burnus (sejenis mantel yang bersambung ke kepala dan digunakan sebagai penutup kepala). Dalam sejarah, ketika sedang diadakan pembicaraan atau
perdebatan antara golongan yang setuju dengan yang menentang tahkim, kelompok al-qurra ini cepat-cepat pergi meninggkalkan area tersebut kemudian mereka memisahkan diri. Sebanyak 12 ribu pasukan menolak proses tahkim, yang meskipun pada awalnya mendesak Ali untuk menerimanya. Bahkan dalam hal ini mereka menganggap Ali adalah kafir. Ali dan sejumlah tokoh sahabat mematahkan dan mendebat pendapat-pendapat mereka, tetapi ia sangat bersikeras dan enggan mengalah dan mendengar pandangan Ali. Pada tahun 38 H mereka di perangi Ali setelah gagal berdialog. Banyak diantara mereka yang mati terbunuh yang kemudian sisanya melarikan diri.
Kaum Khawarij
Dari peristiwa yang diakibatkan oleh perseteruan berbau politik akhirnya bergeser ke permasalahan-permasalahan teks dalam agama tepatnya apa yang sekarang kita kenal dengan masalah teologi Islam atau ilmu kalam. Kaum Khawarij memandang Ali telah berbuat dosa dan salah dikarenakan menerima arbitrase tersebut. yang menurut kaum khawarij penyelesaian masalah yang kemudian diselesaikan dengan arbitrase atau tahkim itu bertentangan dengan apa yang tercantum dalam al-Qur’an.
Surah al- Maidah ayat 44:
Terjemahannya:
Siapa yang tidak memutuskan (suatu urusan) menurut ketentuan yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.
Dengan bertolak pada ayat di atas, mereka menghukumi orang-orang yang terlibat dan menyetujui tahkim itu dalam golongan orang yang kafir dalam pendapat kaum Khawarij. Kafir yang ia maksud yakni keluar dari Islam, dan orang yang keluar dari Islam dikatakan murtad, dan orang yang murtad itu bagi mereka halal darahnya untuk dibunuh. Atas dasar itulah maka mereka memutuskan membunuh Ali, Muawiyah, Amr bin Ash serta Abu musa, dan seperti yang kita ketahui cuma Ali bin Abu Thalib lah yang berhasil mereka bunuh.
Penentuan kafir atau tidaknya seseorang, bukanlah lagi soal politik tetapi masuk ke ranah teologi. Kafir ialah orang yang tidak percaya yang sering di kontraskan dengan mu’minin yakni orang yang percaya. Kafir dalam hal ini dipakai kepada orang yang tidak percaya kepada nabi Muhammad beserta ajaran yang ia bawa, dengan kata lain orang yang belum mu’min atau masuk Islam. Dengan kata lain istilah kafir dipakai untuk golongan di luar Islam, tetapi Khawarij memakai Istilah kafir untuk golongan yang berada dalam tubuh Islam sendiri. Maka dengan demikian kata kafir mulai berubah arti. Dalam perkembangan selanjutnya kaum Khawarij mulai berpecah ke dalam beberapa golongan, demikian pula konsep kafir yang dibawa juga mengalami perubahan lebih lanjut.
Kaum Murji’ah
Aliran ini timbul sebagai reaksi terhadap kaum Khawarij yang pada dasarnya juga membawa paham yang berbeda dengan Khawarij. Menurut paham ini orang Islam yang telah berbuat dosa besar tidak menjadikannya kafir, ia tetap seorang mu’min. Persoalan mengenai dosa besarnya diserahkan sepenuhnya kepada Tuhan kelak di hari perhitungan. Jika dosa besarmya diampuni Tuhan, maka ia ditempatkan di Surga, dan jika tidak diampuni maka ia ditempatkan di neraka berdasarkan takaran dosa besar yang ia perbuat, setelahnya maka ia kemudian dimasukkan ke dalam surga.
Berdasarkan perkembangannya, aliran Mur’jiah juga terpecah menjadi beberapa golongan yang secara garis besar dapat di bedakan atas dua golongan yakni golongan moderat dan golongan ekstrem.
Mu’tazilah
Menurut keyakinan paham ini, orang islam yang melakukan dosa besar bukanlah kafir tetapi juga tidak termasuk ke dalam mu’min, ia mengambil posisi diantara kafir dan mu’min “al- manzilah bain al manzilatain”. Dalam hal ini jika orang yang berbuat dosa besar bertaubat sebelum ia meninggal maka ia akan masuk surga, tetapi jika ia belum sempat bertaubat maka akan masuk neraka selama-lamanya. Dengan kata lain, orang Islam yang melakukan dosa besar dan tidak sempat bertaubat sebelum mati, maka nasibnya sama dengan orang kafir.
Qadariah dan Jabariah
Qadariah menurut paham mereka manusialah yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya dengan kemauan dan tenaganya. Dalam hal ini manusia memiliki kehendak bebas atas berbuatannya.
Berbeda dengan paham di atas, jabariah memiliki paham bahwa perbuatan manusia
Sejarah dan Latarbelakang Lahirnya Ilmu Kalam — Pakatuwo 6
diciptakan Tuhan dalam diri manusia. Manusia dalam hal ini tidak mempunyai kemauan dan daya untuk mewujudkan perbuatannya, semua perbuatannya sudah ditentukan oleh tuhan semenjak asalnya.
Dari paparan di atas kita dapat menyaksikan bahwa ilmu kalam atau teologi Islam pada mulanya muncul sebagai dampak dari persoalan-persoalan politik pada zaman klalifah yang memuncak pada perang Siffin. Dalam sejarah Islam dipaparkan bahwa Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah merupakan paham yang pertama kali muncul dalam peradaban Islam. Kemudian pada perkembangan selanjutnya kemudian muncul lah aliran Qadariah dan Jabariah sebagai salah satu kontestan dalam aliran-aliran Ilmu kalam.
KESIMPULAN
Dengan meninggalnya khalifah Ustman bin Affan yang kemudian digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Di masa kepemimpinan beliau, Ali bin Abi Thalib menghadapi berbagai permasalahan dan jauh dari kata stabil. Walaupun dalam keadaan terdesak, ternyata Ali bin Abi Thalib tidak kehilangan kebesarannya, ia masih menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman walaupun dalam sebagaian pendapat dikatakan bawah Ali bin Abi Thalib melakukan kesalahan dengan menunda pengusutan pembunuhan Ustman dan menerima tahkim dalam perang Siffin.
Kondisi terakhir telah menyebabkan konflik berkepanjangan dalam tubuh umat islam. Yang pada perkembangannya, konflik yang awalnya berasal dari dinamika sosial politik kemudian merambah ke dalam permasalahan-permasalahan paham keagamaan. Dari perbedaa pendapat tentang dosa besar, secara otomatis disusul dengan perbedaan pendapat tentang Iman, definis dan penjelasannya. Berangkat dari perbedaan-perbedaan sudut pandang inilah, yang belakangan memunculkan berbagai aliran seperti Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah dan sebagainya.