Pengertian Walisongo
Kata “wali” berasal dari bahasa Arab yang artinya pembela, teman dekat, dan pemimpin. Dalam pemakaiannya wali biasanya diartikan sebagai orang yang dekat dengan Allah SWT. Adapun kata “songo” berasal dari bahasa Jawa yang artinya sembilan. Maka, Walisongo secara umum diartikan sebagai sembilan wali yang dianggap telah dekat dengan Allah SWT dan terus-menerus beribadah kepadaNya serta memiliki kemampuan-kemampuan diluar kebiasaan manusia.
Para sembilan Wali itu ialah Maulana Malik Ibrahim adalah yang tertua. Sunan Ampel adalah anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya- Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak- Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru, mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan. Mereka mendapat gelar susuhunan (sunan), yaitu sebagai penasehat dan pembantu Raja. Para Wali melakukan dakwahnya dengan sangat tekun, mereka mampu memahami kondisi masyarakat Jawa pada saat itu.
Menurut Soekomono, pakar purbakala dan sejarah kebudayaan dari UGM, Walisongo (9 orang waliyullah) adalah penyiar penting agama agama Islam di Jawa. Mereka dengan sengaja menyebarkan dan mengajarkan pokok-pokok ajaran Islam di tanah Jawa.
Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah). Saat itu, majelis dakwah Walisongo beranggotakan Maulana Malik Ibrahim sendiri, Maulana Ishaq (Sunan Wali Lanang), Maulana Ahmad Jumadil Kubro (Sunan Kubrawi); Maulana Muhammad Al-Maghrabi (Sunan Maghribi); Maulana Malik Isra’il (dari Champa), Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin, Maulana ‘Aliyuddin, dan Syekh Subakir.
Walisongo sangat berperan penting dalam penyebaran Islam di Indonesia khususnya di Jawa. Cara penyebaran Islam yang dilakukan oleh para walisongo sangat menarik. Mereka mampu menggunan metode-metode yang memudahkan ajaran Islam diterima oleh berbagai golongan maayarakat.
Peran dan Metode Dakwah Walisongo dalam Penyebaran Islam
Dari gambaran singkat tentang perjalanan hidup dan perjuangan walisongo dalam menyebarkan agama Islam di daerah Jawa, khususnya dan di wilayah nusantara pada umumnya, maka peran mereka dapat dibentuk seperti Bidang Pendidikan, Bidang Politik dan yang paling terkenal adalah Bidang Dakwah.
Bidang Pendidikan
Peran walisongo di bidang pendidikan terlihat dari aktivitas mereka dalam mendirikan pesantren, sebagaimana yang dilakukan oleh Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Bonang. Sunan Ampel mendirikan pesantren di Ampel Denta yang dekat dengan Surabaya yang sekaligus menjadi pusat penyebaran Islam yang pertama di Pulau Jawa. Di tempat inilah, ia mendidik pemuda-pemudi Islam sebagai kader, untuk kemudian disebarkan ke berbagai tempat di seluruh Pulau Jawa. Muridnya antara lain Raden Paku (Sunan Giri), Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Raden Kosim Syarifuddin (Sunan Drajat), Raden Patah (yang kemudian menjadi sultan pertama dari Kerajaan Islam Demak), Maulana Ishak, dan banyak lagi mubalig yang mempunyai andil besar dalam islamisasi Pulau Jawa. Sedangkan Sunan Giri mendirikan pesantren di daerah Giri.
Santrinya banyak berasal dari golongan masyarakat ekonomi lemah. Ia mengirim juru dakwah terdidik keberbagai daerah di luar Pulau Jawa seperti Madura, Bawean, Kangean, Ternate dan Tidore. Sunan Bonang memusatkan kegiatan pendidikan dan dakwahnya melalui pesantren yang didirikan di daerah Tuban. Sunan Bonang memberikan pendidikan Islam secara mendalam kepada Raden Fatah, putera raja Majapahit, yang kemudian menjadi sultan pertama Demak. Catatan-catatan pendidikan tersebut kini dikenal dengan Suluk Sunan Bonang.
Bidang Politik
Pada masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Walisongo mempunyai peranan yang sangat besar. Di antara mereka menjadi penasehat Raja, bahkan ada yang menjadi raja, yaitu Sunan Gunung Jati. Sunan Ampel sangat berpengaruh dikalangan istana Majapahit. Istrinya berasal dari kalangan istana dan Raden Patah (putra raja Majapahit) adalah murid beliau. Dekatnya Sunan Ampel dengan kalangan istana membuat penyebaran Islam di daerah Jawa tidak mendapat hambatan, bahkan mendapat restu dari penguasa kerajaan. Sunan Giri fungsinya sering dihubungkan dengan pemberi restu dalam penobatan raja. Setiap kali muncul masalah penting yang harus diputuskan, wali yang lain selalu menantikan keputusan dan pertimbangannya. Sunan Kalijaga juga menjadi penasehat kesultanan Demak Bintoro.
Bidang Dakwah
Sudah jelas sepertinya, peran Walisongo cukup dominan adalah di bidang dakwah, baik dakwah melalui lisan. Sebagai mubalig, Walisongo berkeliling dari satu daerah ke daerah lain dalam menyebarkan agama Islam. Sunan Muria dalam upaya dakwahnya selalu mengunjungi desa-desa terpencil. Salah satu karya yang bersejarah dari walisongo adalah mendirikan mesjid Demak. Hampir semua walisongo terlibat di dalamnya. Adapun sarana yang dipergunakan dalam dakwah berupa pesantren-pesantren yang dipimpin olehpara Walisongo dan melalui media kesenian, seperti wayang. Mereka memanfaatkan pertunjukan-pertunjukan tradisional sebagai media dakwah Islam, dengan membungkuskan nafas Islam ke dalamnya. Syair dari lagu gamelan ciptaan para wali tersebut berisi pesan tauhid, sikap menyembah Allah dan tidak menyekutukannya atau menyembah yang lain.
Pendekatan Unsur-Unsur Metode Dakwah Walisongo
Struktur dakwah pada masa Walisongo meliputi unsur-unsur dakwah sebagai berikut:
Da’i
Walisongo berdakwah dengan cara damai. Yakni dengan pendekatan pada masyarakat pribumi dan akulturasi budaya (percampuran budaya Islam dan budaya lokal). Maulana Malik Ibrahim sebagai perintis mengambil peranannya di daerah Gresik, setelah beliau wafat wilayah ini di kuasai oleh Sunan Giri, Sunan Ampel mengambil posisinya di Surabaya, Sunan Bonang di Tuban, sementara itu Sunan Drajat di Sedayu, sedangkan di Jawa Tengah ada tiga wali yaitu Sunan Kudus yang mengambil wilayah di Kudus, Sunan Muria pusat kegiatan dakwahnya terletak di Gunung Muria (sekitar 18 km sebelah utara Kota Kudus), dan Sunan Kalijaga berdakwah di Demak, sedangkan di Jawa Barat hanya ada satu orang wali saja yaitu Sunan Gunung Jati.
Sunan Gunung Jati menjadi Raja muda di Cirebon dan Banten di bawah lindungan Demak, dan Sunan Giri bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan, jadi beliau bersifat al-ulama wa al-umara, sedangkan tujuh wali yang lain hanya bersifat al-ulama saja.
Materi
Materi dakwah yang diterapkan pada dakwah Walisongo ini adalah akidah, syari’ah dan muamalah, dimana para Wali menanamkan akidah kepada masyarakat setempat,karena menghawatirkan penyimpangan akidah akibat tradisi masyarakat jawa,serta memperhatikan secara khusus kepada kesejahteraan social dari fakir miskin,mengorganisir amil,zakat dan infak, dan juga mengajarkan ilmu-ilmu agama seperti ilmu fikih, ilmu hadis, serta nahwu dan saraf kepada anak didiknya.
Metode
Meskipun tidak membawa bendera tertentu kecuali Islam dan Ahl alSunnah Wa al-Jama’ah, metode dakwah yang digunakan Walisongo adalah penerapan metode yang dikembangkan para sufi Sunni dalam menanamkan ajaran Islam melalui keteladanan yang baik. Aliran teologinya menggunakan teologi
Asy’ariyah, sedangkan aliran sufistiknya mengarah pada Al-Ghazali. Jejak yang ditinggalkan Walisongo itu terlihat dalam kumpulan nasihat agama yang termuat dalam tulisan-tulisan para murid dalam bahasa Jawa yang dikenal dengan primbon, yang menggambarkan hakikat aliran tasawuf yang mereka anut dan kembangkan. Hal ini juga didasarkan pada manuskrip yang ditemukan Drewes yang diperkirakan ditulis pada masa transisi dari Hinduisme kepada Islam, yakni pada masa Walisongo hidup. Dalam manuskrip yang menguraikan tasawuf itu terdapat beberapa paragraf cuplikan dari kitab al-Bidayah wa al-Nahayah karya al-Ghazali].
Kendati demikian, metode dakwah yang dilakukan para wali berbeda-beda. Metode yang dilakukan Sunan Kudus tampak unik dengan mengumpulkan masyarakat untuk melihat lembu yang dihias sedemikian rupa sehingga tampil bagai pengantin itu kemudian diikat di halaman masjid, sehingga masyarakat yang ketika itu masih memeluk agama Hindu datang berduyun-duyun menyaksikan lembu yang diperlakukan secara istimewa dan aneh itu. Sesudah mereka datang dan berkumpul di sekitar masjid, Sunan Kudus lalu menyampaikan dakwahnya. Cara ini praktis dan strategis untuk menarik minat masyarakat yang masih banyak menganut agama Hindu. Seperti diketahui, lembu merupakan binatang keramat Hindu.
Terhadap tokoh-tokoh masyarakat yang keras dan gigih menentang dakwah Islamiyah, para wali menerapkan metode al-mujadalah billati hiya ahsan (berbantah-bantah dengan jalan yang sebaik-baiknya). Mereka diperlakukan secara personal, dan dihubungi secara istimewa, langsung, bertemu pribadi sambil diberikan keterangan, pemahaman dan perenungan (tadzkir) tentang Islam. Cara ini dilakukan oleh Raden Rahmat atau Sunan Ampel ketika berdakwah kepada Adipati Aria Damar dari Palembang. Berkat keramahan dan kebijaksanaan Raden Rahmat, Aria Damar masuk Islam bersama istri dan seluruh penduduk negeri yang dipimpinnya. Metode itu dipergunakan pula oleh Sunan Kalijaga ketika berdakwah mengajak Adipati Pandanaran di Semarang. Mulanya terjadi perdebatan seru, tetapi perdebatan itu kemudian berakhir dengan rasa tunduk Sang Adipati untuk masuk Islam. Kejadian mengharukan ketika Adipati rela melepaskan jabatan dan rela meninggalkan harta dan keluarga untuk bergabung dalam dakwah Sunan Kalijaga[4].
Beberapa wali bahkan telah membuktikan diri sebagai Kepala daerah seperti misalnya Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kudus yang berkuasa di daerah-daerah di sekitar kediaman mereka. Kekuatan diplomasi dan kemampuan dalam berhujjah atas kekuatan pemerintahan Majapahit yang sedang berkuasa ditunjukkan oleh Sunan Ampel, Sunan Gresik dan Sunan Majagung. Alhasil, Prabu Brawijaya I (Raja yang sedang berkuasa di Majapahit saat itu) memberi izin kepada mereka untuk memilih daerah-daerah yang disukai sebagai tempat tinggal. Di kawasan baru tersebut mereka diberi kebebasan mengembangkan agama, menjadi imam dan bahkan kepala daerah masyarakat setempat.
Dari penjalasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, metode yang digunakan oleh Walisongo dalam berdakwah ada tiga macam, yaitu:
Al-Hikmah (kebijaksanaan)
Al-Hikmah merupakan kemampuan dan ketepatan da’i dalam memilih, memilah dan menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi objektif mad’u (objek dakwah). Sebagaimana yang dilakukan oleh Sunan Gudus[5].
Al-Mau’izha Al-Hasanah (nasihat yang baik) :
memberi nasihat dengan katakata yang masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih sayang dan ke dalam perasaan dengan penuh kelembutan; tidak membongkar atau membeberkan kesalahan orang lain sebab kelemah-lembutan dalam menasehati seringkali dapat meluluh hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar, ia lebih mudah melahirkan kebaikan daripada larangan dan ancaman. Inilah yang dilakukan oleh para wali.
Al-Mujadalah Billati Hiya Ahsan (berbantah-bantah dengan jalan sebaikbaiknya) :
tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, yang tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan menerima pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat. Antara satu dengan lainnya saling menghargai dan menghormati pendapat keduanya berpegang kepada kebenaran, mengakui kebenaran pihak lain dan ikhlas menerima hukuman kebenaran tersebut. sebagaimana dakwah Sunan Ampel kepada Adipati Aria Damar dan Sunan Kalijaga kepada Adipati Pandanarang.
Metode-metode tersebut sejalan dengan Firman Allah SWT :“serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl : 125).
Media
Masjid
Dimana masjid ini di gunakan sebagai tempat ibadah dan masjid Demak juga di jadikan sentral seluruh aktivitas dan social kemasyarakatan.
Wayang
metode dakwah walisongo yang lainnya yaitu wayang. Wayang sesungguhnya merupakan boneka yang terbuat dari kulit kerbau atau sapi, pipih yang memiliki dua tangan yang dapat digerakkan dengan stik dan dimainkan oleh seorang dalang, Oleh karenanya, di dalam cerita wayang itulah terkandung nilai moral dan akhlak, perihal keimanan sampai pada thariqah (jalan) menuju ketaqwaan kepada Allah[6]
Pesantren
Di mana pesantren ini termasuk salah satu metode dakwah walisongo berfungsi sebagai sarana mengamalkan dan mengabdikan ilmunya kepada masyarakat, dari pesantren yang telah didirikan lahirlah para Da’i yang memiliki kemampuan tinggi yang tinggi dalam memperjuangjan dakwah selanjutnya.
Kitab
Kitab yang berbentuk puisi maupun prosa, kitab inilah yang kemudian dikenal dengan Suluk Sunan Bonang.
Gamelan
Alat musik yang di gunakan untuk mengiringi tembang atau lagu-lagu Jawa yang bernuansa Islam.
Eksistensi Metode Dakwah Walisongo Di Masa Kini
Beberapa metode dan media yang digunakan Walisongo dalam berdakwah saat ini tidak semuanya utuh dijadikan metode dan media dakwah pada masa kini. Akan tetapi, ada beberapa media dan metode yang lebih dikembangkan lagi guna meneruskan misi dakwah Islam.
a. Ceramah
Dakwah secara umum tidak lepas dari model ceramah , meskipun ada banyak dakwah yang tidak menggunakannya. Oleh karena itu, sampai saat ini model ceramah masih tetap digunakan dalam rangka dakwah islam.
b. Tanya jawab dan diskusi
Sampai saat ini bukan hanya dalam ranah dakwah saja metode tanya jawab dan diskusi digunakan, bahkan dalam dunia pendidikan-pun lebih di dominasi oleh kedua model ini. Karena hal ini dinilai sangat efektif untuk dapat mengetahui kekurangan yang dimiliki orang lain dan akan semakin mudah menanamkan nilainilai pada diri seseorang melelalui kekurangannya.
c. Konseling
Dalam dunia dakwah sepertinya jarang ditemui bimbingan-bimbingan konseling yang benar-benar melayani masyarakat (urusan agama). Misalnya, balai desa saja hanya digunakan untuk kebutuhan administrasi kenegaraan bukan intus keagamaan.
d. Keteladanan
Yang seharusnya dimiliki oleh seorang da’i adalah suri tauladn yang baik, karena sudah menjadi konsep di masyarakat bahwa mereka akan benar-benar mengikuti ajakan orang-orang yang berjiwa mulia lahir dan batin agar bisa dijadikan panutan.
e. Pendidikan
Melalui pendidikan kita dapat mengetahui sejarah, nilai-nilai keimanan, dan hukum-hukum syari’at yang mengatur pola hidup kita. Oleh karena itu di setiap lembaga pendidikan baik formal, informal maupun non formal hendaknya terdapat misi dakwah di dalamnya. f. Bitsah dan ekspansi
Sudah tidak terlihat lagi ada utusan yang dikirim ke daerah lain untuk melakukan misi dakwah islam karena dengan berkembangnya teknologi dan kemajuan zaman mempermudah kita untuk melakukan dakwah tanpa batasan ruang dan waktu[8].
Kesenian
Indonesia saat ini memang sangat ragam dengan budaya dan kesenian terutama musik. Sayangnya, hanya sebatas hiburan saja bukan dalam rangka dakwah. Beberapa tahun lalu, ada sejumlah orang yang melakukan dakwah melalui kesenian yakni musik yang mengatas-namakan kelompoknya dengan dalih “nada dan dakwah”. Melalui musik mereka menanamkan nilai-nilai islam yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Ironisnya sampai sekarang sudah tidak ada lagi yang memanfaatkan kesenian seperti musik untuk jalur dakwah bahkan rata-rata bertujuan bisnis dan yang hampir mendekati dakwah yaitu lagu-lagu yang tergolong
“album religi”.
Kelembagaan pusat atau lembaga dakwah
Kelembagaan pusat atau lembaga dakwah yang terkenal dan masih eksis untuk digunakan metode dakwah walisongo samapai saat ini yaitu masjid/musholah dan pondok pesantren. Kedua lembaga ini masih ada di setiap daerah yang masih kental dengan budaya islam di indonesia. Karakteristik pesantren masa kini dibandingkan puluhan tahun lalu sebenarnya hampir sama, hanya saja mungkin terdapat penambahan karakteristik sesuai perkembangan zaman. Contohnya di awal kemunculan, dalam pesantren belum terdapat laboratorium komputer dengan segala atribut pelengkapnya menjadi hal yang tidak dapat terpisahkan, sekalipun lokasi pesantren yang jauh dari perkotaan[9]. i. Silaturrahim
Yang terlihat dimasyarakat, masih ada sejumlah orang yang melakukan metode ini dalam rangka dakwah islam atau dikenal dengan jama’ah tabligh. Sayangnya bukan mendapat respon positif dan justru malah menjadi bahan gunjingan denagn hadirnya mereka di daerahnya. Sebenarnya kalau kita koreksi lagi, merekalah yang satu-satunya yang masih melanjutkan dakwah islam dengan cara silaturrahim. Tetapi mengapa justru kurang di terima oleh kebanyakn orang? Mungkin mereka mengira bahwa mereka yang datang adalah teroris atau aliran sesat.
j. Propaganda
Setiap hari Jum’at setiap umat islam khusunya laki-laki memiliki kewajiban ibadah shalat jum’at di masjid. Pelaksanaan shalat Jum’at diwalai dengan khutbah oleh seorang imam lalu melaksanakan shalat jum’at 2 rakaat. Hal ini menunjukkan bahwa metode ini masih digunakan untuk dakwah islam yakni dengan adanya khutbah yang isinya tentang dakwah.