Bunga Bank dalam Pandangan Fiqih

Photo of author
Written By Najib

Lorem ipsum dolor sit amet consectetur pulvinar ligula augue quis venenatis. 

Pengertian Bunga Bank dan Riba

Bunga adalah sejumlah uang yang dibayar atau tambahan untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau prosentase modal yang berkaitan dengan itu dan biasa dinamakan suku bunga modal. Sedangkan bank (perbankan) adalah suatu lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah simpan-pinjam, memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang, dengan tujuan memenuhi.

Analisis Bunga Bank dalam Pandangan Fiqih

bunga bank
bunga bank

kredit dengan modal sendiri atau orang lain. Kegiatan perbankan adalah bergerak dalam bidang keuangan dan kredit, serta mencakup dua fungsi penting, yaitu menciptakan uang dan sebagai perantara.

Adapun kata riba, secara etimologi diambil dari bahasa Arab yang mempunyai makna ziyâdah ( زيادة ) yaitu tambahan, kelebihan, tumbuh, tinggi dan naik (Baalbaki, 1999). Hal ini sebagaimana firman Allah SWT.:
“Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.” (QS. Al-Hajj: 5)

Selain itu, riba juga bisa diartikan sebagai tambahan khusus yang dimiliki salah satu dari dua pihak yang terlibat tanpa ada imbalan tertentu. Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar.

Sedangkan menurut terminologi, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Pengertian senada disampaikan oleh jumhur ulama dari berbagai madzhab fiqih, di antaranya:

Yang dilarang al-Qur’an dan sunnah adalah penambahan Imam an-Nawawi dari madzhab Syafi’i: “Salah satu bentuk riba atas harta pokok karena unsur waktu. Dalam dunia perbankan hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lama waktu pinjaman.

Badruddin al-Ayni pengarang Umdatul Qâri’ Syarah Shahih al-Bukhari, memberikan definisi riba sebagai berikut: “Prinsip utama dalam riba adalah penambahan.
Menurut syariah riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil” (Al-Ayni,1995)

Imam Sarakhsi dari madzhab Hanafi: “Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwad} (atau padanan) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.”
Dengan demikian, riba menurut istilah syara’ ialah suatu akad perjanjian yang terjadi dalam tukar-menukar suatu barang yang tidak diketahui sama atau tidaknya menurut syara’, atau dalam tukar-menukar itu disyaratkan dengan menerima salah satu dari
dua barang, atau ada unsur penambahan.

Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam. Mengenai hal ini Allah SWT
mengingatkan dalam firmannya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisâ’: 29)

Mengenai makna batil dalam ayat di atas, Ibnu al-Arabi al-Maliki, dalam kitabnya Ahkâm al-Qur’a>n, menjelaskan bahwa pengertian riba secara bahasa adalah tambahan (ziya>dah), namun maksud riba dalam ayat al-Qur’an yaitu setiap penambahan yang
diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah.” Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil. Seperti
transaksi jual-beli, gadai, sewa, dan lain sebagainya.

Dalam transaksi sewa menyewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk

Analisis Bunga Bank dalam Pandangan Fiqih

bunga bank
bunga bank

menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si penyewa. Mobil misalnya, sesudah dipakai nilai ekonomisnya pasti menurun, jika dibandingkan sebelumnya. Dalam hal jual-beli si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para peserta kongsi berhak mendapat keuntungan karena di samping menyertakan modal juga turut serta menanggung kemungkinan risiko kerugian yang bisa saja muncul setiap waktu.
Demikian juga dalam transaksi simpan-pinjam dana, secara konvensional si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan
selama proses peminjaman tersebut.

Yang tidak adil di sini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung dalam setiap penggunaan uang itu

Jenis-jenis Riba

Imam Hanafi mengatakan bahwa riba itu terbagi menjadi dua, yaitu riba al-Fadl} dan riba an-Nasa’. Sedangkan Imam as-Syafi’i membaginya menjadi tiga, yaitu riba al-Fad}l, riba an-Nasa’ dan riba al-Yadd. Adapun al-Mutawally menambahkan jenis keempat, yaitu riba al-Qard}. Semua jenis riba ini diharamkan secara ijma’ berdasarkan nash al-Qur’an dan hadits Rasulullah. Dari beberapa pendapat ulama di atas, riba dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qard} dan riba yadd. Sedangkan kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi riba fad}l dan riba nasa’.

Secara terperinci penjelasannya sebagai
berikut:

Riba Qard

suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtarid}).

Riba Yadd

berpisah dari tempat akad sebelum adanya timbang terima.

Riba Fad}l

riba yang terjadi dalam masalah barter atau tukar menukar benda. Bukan dua jenis benda yang berbeda, melainkan satu jenis barang namun dengan kadar atau takaran yang berbeda. Jenis barang yang dipertukarkan itu termasuk hanya tertentu saja, tidak semua jenis barang. Barang jenis tertentu itu kemudian sering disebut dengan “barang ribawi”. Harta yang dapat mengandung riba sebagaimana disebutkan dalam hadits nabawi, hanya terbatas pada emas, perak, gandung, terigu, kurma dan garam saja.

Hal ini sebagaimana hadits riwayat Ubadah bin Shamit
berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, terigu dengan terigu, korma dengan korma, garam dengan garam harus sama beratnya dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka juallah sekehendakmu tetapi harus tunai.” (HR. Muslim).

Riba Nasa’.

Riba Nasa’ disebut juga riba Jahiliyah. Nasi’ah bersal dari kata nasa’ yang artinya penangguhan. Sebab riba ini terjadi karena adanya penangguhan pembayaran. Inilah riba yang umumnya kita kenal di masa sekarang ini, di mana seseorang memberi hutang berupa uang kepada pihak lain, dengan ketentuan bahwa hutang uang itu harus diganti bukan hanya pokoknya, tetapi juga dengan tambahan prosentase bunganya. Riba
dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian. Contohnya adalah seseorang yang ingin membangun rumah. Untuk itu dia pinjam uang kepada bank sebesar 200 juta dengan bunga 12% pertahun. Sistem peminjaman seperti ini, dengan syarat harus dikembalikan plus bunganya, maka transaksi ini adalah transaksi ribawi yang diharamkan dalam syariat Islam. Riba bentuk seperti ini yang paling sering erjadi di kalangan
kaum muslimin.

Analisis Bunga Bank dalam Pandangan Fiqih

Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyatakan: “Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan.” Kitab Levicitus (Imamat) pasal 35 ayat 7 menyatakan:
“Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Tuhanmu, supaya saudaramu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba.”

Konsep Bunga di Kalangan Yunani dan Romawi Pada masa Yunani, sekitar abad VI Sebelum Masehi hingga I Masehi, telah terdapat beberapa jenis bunga. Besarnya bunga tersebut bervariasi tergantung kegunaannya. Secara umum, nilai bunga tersebut dikategorikan sebagai berikut: pinjaman biasa (6% -18%), pinjaman properti (6%-12%), pinjaman antarkota (7%-12%), dan pinjaman perdagangan dan industri (12%-18%).
Pada masa Romawi, sekitar abad V Sebelum Masehi hingga IV Masehi, terdapat undang-undang yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan tingkat maksimal yang dibenarkan hukum (maximum
legal rate).

Nilai suku bunga ini berubah-ubah sesuai dengan berubahnya waktu. Meskipun undang-undang membenarkan pengambilan bunga, tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga-berbunga (double countable).

Pada masa pemerintahan Genucia (342 SM) kegiatan pengambilan bunga tidak diperbolehkan. Tetapi, pada masa Unciaria (88 SM) praktik tersebut diperbolehkan kembali seperti semula. Terdapat empat jenis tingkat bunga pada zaman Romawi yaitu: bunga maksimal yang dibenarkan (8 – 12%), bunga pinjaman biasa di Roma (4 – 12%), bunga untuk wilayah (daerah taklukan Roma) (6 – 100%), dan bunga khusus Byzantium (4 – 12 %). Meskipun demikian, praktik pengambilan bunga dicela oleh para ahli filsafat. Dua orang ahli filsafat Yunani terkemuka, Plato (427 – 347 SM) dan Aristoteles (384 – 322 SM), mengecam praktik bunga. Begitu juga dengan Cato (234 – 149 SM) dan Abdurrohman Kasdi.

Cicero (106 – 43 SM). Para ahli filsafat tersebut mengutuk orangorang Romawi yang mempraktekkan pengambilan bunga. Plato mengecam sistem bunga berdasarkan dua alasan: pertama, bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Kedua, bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin. Sedangkan Aristoteles, dalam menyatakan keberatannya mengemukakan bahwa fungsi uang adalah sebagai alat tukar atau medium of exchange. Ditegaskannya, bahwa uang bukan alat untuk menghasilkan tambahan melalui
bunga.

Bunga itu sama dengan riba dan hukumnya haram. Akan tetapi boleh dipungut sementara belum beroperasinya sistem perbankan yang Islami (tanpa bunga).

Bunga itu sama dengan riba, hukumnya haram. Akan tetapi boleh dipungut sebab adanya kebutuhan yang kuat (hajah rajihah).

Kedua, pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga hukumya boleh. Sebab tidak ada syarat pada waktu aqad, sementara adat yang berlaku, tidak dapat begitu saja
dijadikan syarat. Pendapat kedua ini juga dengan beberapa variasi antara lain: Bunga konsumtif sama dengan riba, hukumnya haram, 1. dan bunga produktif tidak sama dengan riba, hukumnya halal. Bunga yang diperoleh dari bank tabungan giro tidak sama dengan riba, hukumnya halal. Bunga yang diterima dari deposito yang dipertaruhkan ke bank hukumnya boleh. Bunga bank tidak haram, kalau bank itu menetapkan tarif bunganya terlebih dahulu secara umum.

Ketiga, pendapat yang mengatakan hukumnya shubhat
(diragukan tentang halal atau haramnya). Sebab para ahli hukum berselisih pendapat tentangnya.

Dampak sistem ekonomi ribawi tersebut sangat membahayakan perekonomian dunia.

bunga bank
bunga bank

1) Pengaruh Sosial Masyarakat

Riba mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, karena ia merupakan pendapatan yang diperoleh secara tidak adil. Orang yang mengambil riba menggunakan uangnya untuk memerintahkan orang lain agar berusaha dan mengembalikan. Hal ini misalnya, ketika seseorang meminjamkan uangnya dengan bunga dua puluh persen lebih tinggi dari jumlah yang dipinjamkannya. Persoalannya, siapakah yang bisa menjamin bahwa usaha yang dijalankan oleh orang itu nantinya mendapatkan keuntungan lebih dari dua puluh persen? Siapapun tidak bisa memastikan apa yang terjadi besok atau lusa, dan siapapun tahu bahwa berusaha memiliki dua kemungkinan,
berhasil atau gagal.

Dengan menetapkan riba, berarti orang sudah memastikan bahwa usaha yang yang dikelola pasti untung, atau dipaksa untuk beruntung. Al-Maududi dalam bukunya “Riba” menjelaskan bahwa institusi bunga merupakan sumber bahaya dan kejahatan melalui pengaruhnya terhadap karakter manusia. Di antaranya, bunga menimbulkan perasaan cinta terhadap uang dan hasrat mengumpulkan harta untuk kepentingannya sendiri, tanpa mengindahkan peraturan dan peringatan Allah SWT. Bunga menumbuhkan sikap egois, bakhil, berwawasan sempit, serta berhati batu.

2) Pengaruh Ekonomi

Pengaruh riba dalam bidang ekonomi adalah adanya inflasi yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang. Hal tersebut disebabkan karena salah satu elemen dan penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang. Dampak lainnya adalah bahwa hutang, dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga, akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas hutang tersebut dibungakan.

Contoh paling nyata adalah hutang negara-negara berkembang kepada negara-negara maju. Meskipun disebut pinjaman lunak, artinya dengan suku bunga rendah, pada akhirnya negara-negara penghutang harus berhutang lagi untuk membayar bunga dan pokoknya. Sehingga, terjadilah hutang yang terus- menerus. Ini yang menjelaskan proses terjadinya kemiskinan struktural yang menimpa lebih dari separuh masyarakat internasional.


f. Solusi Riba dengan Bank Islam

bunga bank
bunga bank

Melihat kenyataan di atas, umat Islam telah berusaha mencarikan solusi yaitu dengan mendirikan Bank Islam, karena ia menyediakan sarana bagi umat Islam untuk melakukan kegiatanmuamalah sesuai dengan ajaran Islam.

Ada beberapa hal yang melatarbelakangi munculnya Bank Islam: pertama, Bank Islam didirikan karena dilatarbelakangi oleh keinginan umat Islam untuk menghindar dari riba dalam kegiatan muamalahnya. Kedua, Bank Islam didirikan karena dilatarbelakangi oleh keinginan umat Islam untuk memperoleh kesejahteraan lahir dan batin melalui kegiatan muamalah yang sesuai dengan perintah agama. Ketiga, Bank
Islam didirikan karena dilatarbelakangi oleh keinginan umat Islam untuk mempunyai alternatif pilihan dalam menggunakan jasa-jasa perbankan yang dirasakan lebih sesuai (Hasan, 2003). Dalam Bank Islam, prinsip yang dikedepankan adalah bagi hasil, bukan bunga dan riba. Sebagai ganti sistem bunga, Bank Islam menggunakan berbagai cara yang bersih dari unsur riba, antara lain ialah:

pertama, mud}ârabah, yaitu suatu perjanjian usaha antara pemilik modal dengan pengusaha. Pemilik modal menyediakan seluruh dana yang diperlukan dan pihak pengusaha melakukan pengelolaan. Hasil usaha bersama ini sesuai dengan kesepakatan bersama pada saat dibuat dan ditandatangani perjanjian.

Kedua, musyârakah, yaitu suatu perjanjian usaha antara dua atau beberapa orang (badan) pemilik modal untuk menyerahkan modalnya pada suatu proyek. Keuntungan dibagi atas kesepakatan bersama, atau
berdasarkan besar kecilnya modal masing-masing. Demikian juga mengenai kerugian yang diderita, dicantumkan dalam perjanjian kerjasama tersebut. Musyarakah ini dalam praktik sehari-hari
dikenal dengan istilah patungan.

Ketiga, murâbahah, yaitu pembelian barang dengan pembayaran ditangguhkan. Pembiayaan murâbahah
adalah pembiayaan yang diberikan kepada nasabah dalam rangka pmenuhan kebutuhan produksi. Cara yang ditempuh ialah pihak bank membelikan barang-barang yang diperlukan oleh nasabah, atas nama bank tersebut. Pada saat itu juga, pihak bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga yang disetujui bersama dan akan dibayar dalam waktu tertentu.

Keempat, wadi’ah yaitu titipan dalam bentuk uang, surat-surat berharga atau deposito. Pihak bank berkewajiban menjaga titipan itu dengan penuh amanah. Di antara barang titipan itu, atas seizin penitip dapat dipergunakan dan dimanfaatkan oleh pihak bank. Bila sewaktu-waktu titipan itu diminta kembali, pihak bank harus mengembalikan sepenuhnya sesuai dengan yang tercantum dalam surat penitipan dan jangka waktu yang telah ditetapkan bersama.

Tinggalkan komentar