Konsep Manusia Menurut Para Filosof
Manusia adalah makhluk lain dari yang lain, manusia memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan makhluk lainnya. Keistimewaan tersebut adalah pikirannya. Karena itu Aristoteles mendefinisikan manusia sebagai hewan yang berfikir (thinking animal). Sebagian antropolog berpendapat bahwa ciri khas manusia adalah kesadaran dan kemauannya untuk bertehnik, membuat sesuatu yang baru dari benda-benda yang telah ada, kemudian mengolahnya untuk kemaslahatan dan perbaikan status hidupnya, manusia dengan demikian adalah makhluk bertehnik. (M. Quraish Shihab, 1994 :227).
Ali Madkur mengatakan bahwa konsep manusia terdapat kesatuan antara ruh dan jasad yang keduanya mesti dipelihara dan ditumbuhkembangkan oleh ilmu melalui pendidikan yang bersumber kepada al-Quran dan al-Sunnah. Ia menyebut konsep manusia sebagai makhluk berpotensi ganda pula bahkan multi kebutuhan. (Ali Madkur, 1422 H / 2002 M: 158).
Setiap manusia dibekali fithrah atau potensi dasar sehingga mampu mengesakan Allah Swt. sebagai Tuhan nya.
Manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah dalam bentuk yang sempurna. Maka kesempurnaan itu mesti dipelihara melalui pendidikan, namun, kemuliaan itu tidak tetap dalam kemuliaannya, apabila tidak dipupuk oelh ilmu, dan melenceng dari tuntutan kefithrahannya, artinya kefithrahan dan kemuliaan itu sirna karena maksiat.
Jean Jacques Rousseau berpendapat bahwa manusia pada asalnya memilki karakter baik, sedangkan perbuatan jahat seperti korupsi itu berasal dari masyarakat atau unsur lain. Ia lebih lanjut mengatakan bahwa manusia yang baik dengan karakternya karena datang dari pencipta alam semesta, jika disentuh atau bergaul dengan manusia, maka manusia itu menjadi jahat. Ali Madkur, 1422 H / 2002 M: 155).
Para ahli sosiologi berbeda dalam memandang manusia, mereka adalah makhluk yang tidak mampu untuk hidup sendiri. Ia harus mempunyai hubungan interdependensi baik langsung maupun tidak langsung dengan orang lain. Dengan demikian manusia adalah makhluk social.
Rumke dalam Ali Madkur (1422 H / 2002 M: 158), seorang psikiater berkebangsaan Belanda berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang beragama, karena makhluk yang beragama, maka manusia memiliki sifat yang terbaik, dan masyarakat yang bertanggung jawab untuk semua aspek kejahatan dan ketidakadilan dalam jiwa manusia, maka naluri dan unsur lainnya menyebabkan ia berbuat baik dan selalu benar.
Menurut pandangan materialisme dialektis, yang merupakan prisip ajaran komunis, manusia adalah makhluk biologis dan ekonomis. Sebagai makhluk biologis, ia adalah binatang cerdas yang mempunyai kepala (akal), jiwa, dan perut. Demikianlah sehingga walaupun mereka tidak mengingkari adanya unsure-unsur akal dan jiwa dalam diri manusia, tetapi mereka beranggapan bahwa unsur materi lebih penting daripada unsur kejiwaan.
Karena jiwa dan akal menurut mereka bergantung wujud dari materi. Kebergantungan wujud ini menjadikan mereka tidak sekedar mengingkari kekalnya jiwa setelah hancurnya jasmani (sebagaimana kepercayaan agama), tetapi lebih dari itu, mereka bahkan menolak kepercayaan agama tentang adanya Tuhan yang bersifat immaterial (transenden) dan yang telah sebelum adanya materi. (M. Quraish Shihab, 1994 :229).
Karl Marx mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai tiga kebutuhan pokok, yaitu sandang, pangan dan pemuasan kebutuhan seks. Ketiga hal ini merupakan hal-hal pokok, sehingga tidak boleh diabadikan, bahkan segala sesuatu selain ketiga hal itu hendaknya dipendam dan dipadamkan, termasuk kebutuhan spiritual yang justru dianggap sebagai hambatan dalam mencapai kebutuhan-kebutuhan pokok tadi. Sehingga terkenallah di dunia komunisme semboyan “agama adalah candu masyarakat” dalam kedudukan manusia sebagai homo economicus, maka kerja dan produksilah yang merupakan hakekat manusia.
Konsep Manusia Dalam Alquran
Ada empat lafadz yang digunakan Alquran untuk menunjuk kepada konsep manusia yaitu :
a. Al-Insan
Kata Insan tersebar ditemukan 65 kali dalam al-Quran.dengan tiga kategori. Pertama, dihubungkan dengan keistimewaan sebagai khalifah atau pemikul amanah. Kedua, insan dihubungkan dengan predisposisi negative diri manusia. Ketiga, insan dihubungkan dengan proses penciptaan manusia. Kata Al-Insan terambil dari akar kata Uns yang berarti jinak, harmonis dan tampak. (S. Askar, 2010: 10).
Nilai kemanusiaan pada manusia yang disebut Alquran dengan term Al-Insan itu terletak pada tingginya derajat manusia yang membuatnya layak menjadi khalifah di bumi dan mampu memikul akibat-akibat taklif (tugas keagamaan) `serta memikul amanah. (Aisyah Binti Syati, 1999: 7).
Konsep Manusia disebut al-insaan karena dia sering menjadi pelupa sehingga diperlukan teguran dan peringatan. Manusia sebagai mahluk psikologi artinya bahwa manusia mahluk yang unik, yang memiliki harmoni jiwa, cinta, benci, setres, jinak, lupa dan sebagainya yang membedakan dengan makhluk yang lainnya.
Konsep Manusia adalah insan bila dilihat dari sudut psikologisnya, insan dalam Bahasa Arab menunjukan manusia sebagi makhluk psikologi, kata insan tersebut terdiri dari tiga unsur:
a. Uns bermakna mesra, harmonis, jinak, tampak.
b. Nasa Yanusu bermakna terguncang, stress
c. Nasiya yang bermakna lupa.
Bila dihubungkan dengan sifat-sifat manusia pada kategori pertama, insan menjadi makhluk paradoksal, yang berjuang mengatasi konflik dua kekuatan yang saling bertentangan: kekuatan mengikuti fitrah (memikul amanat Allah) dan kekuatan mengikuti predisposisi negatif. Kedua kekuatan ini. Secara menarik proses penciptaan manusia atau asal kejadian manusia dinisbahkan pada konsep insan dan basyar sekaligus. Sebagai insan manusia diciptakan dari tanah liat, saripati tanah, tanah (15:26; 55:14; 23:12; 32:7). Demikian pula basyar berasal dari tanah liat, tanah (15:28; 38:71; 30:20) dan air (25:54). Dari ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa proses penciptaan manusia menggambarkan secara simbolis karakteristik basyari dan karakteristik insani.
Menurut Qardhawi (1973: 76) manusia adalah gabungan kekuatan tanah dan hembusan Ilahi (bain qabdhat al-thin wa nafkhat al-ruh). Yang pertama, unsur material dan yang kedua unsur ruhani. Yang pertama unsur basyari, yang kedua unsur insani. Keduanya harus tergabung dalam keseimbangan. Abbas Mahmud al-‘Aqqad (1974: 387) “Tidak boleh (seorang mukmin) mengurangi hak-hak tubuh untuk memenuhi hak ruh, dan tidak boleh ia mengurangi hak-hak ruh untuk memenuhi hak tubuh.”
Menurut Hasan langgulung (1988: 290), manusia disebut insan itu mengandung perkembangan kea rah yang dapat membolehkan ia menduduki sifat khlaifah di bumi, memikul tanggungjawab taklif dan amanah, sebab manusialah yang khusus menerima ilmu, bayan, aqal dan pembedaan antara yang baik dan buruk, walaupun itu semua menghadapi ujian kebaikan dan keburukan dan cobaan.
kebanggaan sebab ia merasa kuat dan tegap, dan jjuga ia merasakan kekuatan dan kedudukannya tinggi disbanding dengan makhluk-makhluk yang lain. Dalam keadaan bangga dan takabur itu ia lupa bahwa ia adalah makhluk lemah yang mengarungi pelayaran dunia dari dunia yang tidak diketahui kea lam gaib di jembatan yang pasti membawa keliang lahad.
b. Al-Basyar
Lafadz Al-Basyar terdapat 35 tempat dalam al-Quran, di antaranya termasuk 25 tempat tentang rasul-rasul dan nabi-nabi sebagai manusia (Basyar)(Q.S: 21 : 2-8, 14 : 10-11, 18 : 110, 23 : 33), dengan menegaskan keserupaan, dalam hal ia sebagai gejala manusia dan sifat-sifat kebendaannya, antara mereka (nabi-nabi) dengan manusia-manusia yang lain. (Hasan Langgulung, 1988: 289).
Kata basyar terambil dari kata yang pada mulanya berarti penampakkan sesuatu yang baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit yang halus dan nampak, manusia dinamai basyar karena kulinya halus dan tampak jelas, dan berbeda dengan kulit binatang yang lain. (M. Quraish Syihab, 1996: 279).
Basyar adalah anak keturunan adam, makhluk fisik yang suka makan dan berjalan ke pasar. Aspek fisik itulah yang membuat pengertian basyar mencakup anak keturunan Adam secara keseluruhan. (Aisyah Binti Syati, 2010: 1). Manusia disebut al-basyar, karena dia cenderung perasa dan emosional sehingga perlu disabarkan dan didamaikan. Manusia sebagai basyar berkaitan dengan unsur material, yang dilambangkan manusia dengan unsur tanah.
c. Al-Nas
Menurut Jalaluddin Rahmat (2003) Lafadz al-Nas yang mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial. Inilah manusia yang paling banyak disebut Alquran (240 kali, lihat ‘Abd al-Baqi, al-Mu’jam; pada kata al-Nas). Tak mungkin dalam makalah singkat ini, kita menjelaskan seluruh bidang semantik istilah al-Nas. Cukuplah di sini ditunjukkan beberapa hal yang memperkuat
pertanyaan pada awal paragraf ini –yakni, al-Nas menunjuk pada manusia sebagai makhluk sosial.
Pertama, Banyak ayat yang menunjukkan kelompok-kelompok social dengan arakteristiknya. Ayat-ayat itu lazimnya dikenal dengan ungkapan wa min al-Nas (dan diantara sebagian anusia). Dengan memperhatikan ungkapan ini, kita menemukan kelompok manusia yang menyatakan beriman, tapi sebetulnya tidak beriman (2:8), yang mengambil sekutu terhadap Allah (2:165), yang hanya memikirkan kehidupan dunia (2:200), yang mempesonakan orang dalam pembicaraan tentang kehidupan dunia, tetapi memusuhi kebenaran (2:204), yang berdebat dengan Allah tanpa ilmu, petunjuk, dan al-Kitab (22:3,8; 31:20), yang menyembah Allah dengan iman yang lemah (22:11; 29:10), yang menjual pembicaraan yang menyesatkan (31:6); di samping ada sebagian orang yang rela mengorbankan dirinya untuk mencari kerelaan Allah.
Kedua, dengan memperhatikan ungkapan aktsar al-Nas, kita dapat menyimpulkan, sebagian besar manusia mempunyai kwalitas rendah, baik dari segi ilmu maupun dari segi iman. Menurut al-Qur’an sebagian manusia itu tidak berilmu, tidak bersyukur, tidak beriman, fasiq, melalaikan ayat-ayat Allah, kafir, dan kebanyakan harus menanggung azab. Ayat-ayat ini dipertegas dengan ayat-ayat yang menunjukkan sedikitnya kelompok manusia yang beriman, yang berilmu atau dapat mengambil pelajaran, yang bersyukur , yang selamat dari azab Allah, yang tidak diperdayakan syetan.
Ketiga, Alquran menegaskan bahwa petunjuk Alquran bukanlah hanya dimaksudkan pada manusia secara individual, tapi juga manusia secara sosial. Al-Nas sering dihubungkan al-Qur’an dengan petunjuk atau al-Kitab (57:25; 4:170; 14:1; 24:35; 39:27; dan sebagainya). (Jalaluddin Rahmat, 2003: 27).
d. Bani Adam
Lafadz Bani Adam terdapat 7 tempat dalam al-Quran yang berarti anak cucu Adam as. Adam berarti nabi Adam dan manusia. Manusia disebut bani Adam karena: pertama, manusia dilebihkan oleh Allah dibandingkan dengan makhluk lainnya, dan kedua manusia adalah makhluk yang berakal. (Quraish Shihab, 2012: 278). Penggunaan istilah banii Aadam menunjukkan bahwa manusia bukanlah merupakan hasil evolusi dari makhluk anthropus (sejenis kera). Hal ini diperkuat lagi dengan panggilan kepada Adam dalam Alquran oleh Allah dengan huruf nidaa (Yaa Adam!). Demikian juga penggunaan kata ganti yang menunjukkan kepada Nabi Adam, Allah selalu menggunakan kata tunggal (anta) dan bukan jamak (antum) sebagaimana terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 35.
Adapun kata bani adam dan zurriyat Adam, yang berarti anak Adam atau keturunan Adam, digunakan untuk menyatakan manusia bila dilihat dari asal keturunannya. (Quraish Shihab, 2012: 278). Dalam Al-Qur’an istilah bani adam disebutkan sebanyak 7 kali dalam 7 ayat. (Abdul Mukti Rauf, 2008: 39). Menurut Thabathaba’i dalam Samsul Nizar (2001: 52), penggunaan kata bani Adam menunjuk pada arti manusia secara umum.
Dalam hal ini setidaknya ada tiga aspek yang dikaji, yaitu: Pertama, anjuran untuk berbudaya sesuai dengan ketentuan Allah, di antaranya adalah dengan berpakaian guna manutup auratnya. Kedua, mengingatkan pada keturunan Adam agar jangan terjerumus pada bujuk rayu setan yang mengajak kepada keingkaran. Ketiga, memanfaatkan semua yang ada di alam semesta dalam rangka ibadah dan mentauhidkanNya. Kesemuanya itu adalah merupakan anjuran sekaligus peringatan Allah dalam rangka memuliakan keturunan Adam dibanding makhluk-Nya yang lain.
Lebih lanjut Jalaluddin (2003: 27) mengatakan konsep Bani Adam dalam bentuk menyeluruh adalah mengacu kepada penghormatan kepada nilai-nilai kemanusian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia dalam konsep Bani Adam, adalah sebuah usaha pemersatu (persatuan dan kesatuan) tidak ada perbedaan sesamanya, yang juga mengacu pada nilai penghormatan menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusian serta mengedepankan HAM. Karena yang membedakan hanyalah ketaqwaannya kepada Pencipta. Sebagaimana yang diutarakan dalam QS. Al-Hujarat: 13). Manusia dalam Alquran bukanlah makhluk anthropomorfisme yaitu makhluk penjasa dan Tuhan, atau mengubah Tuhan menjadi manusia. Al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai makhluk theomorfis yang memiliki sesuatu yang agung di dalam dirinya.
Disamping itu manusia dianugerahi akal yang memungkinkan dia dapat membedakan nilai baik dan buruk, sehingga membawa dia pada sebuah kualitas tertinggi sebagai manusia takwa. Alquran memandang manusia sebagaimana fitrahnya yang suci dan mulia, bukan sebagai manusia yang kotor dan penuh dosa. Peristiwa yang menimpa Nabi Adam sebagai cikal bakal manusia, yang melakukan dosa dengan melanggar larangan Tuhan, mengakibatkan Adam dan istrinya diturunkan dari sorga, tidak bisa dijadikan argumen bahwa manusia pada hakikatnya adalah pembawa dosa turunan.
Alquran justru memuliakan manusia sebagai makhluk surgawi yang sedang dalam perjalanan menuju suatu kehidupan spiritual yang suci dan abadi di negeri akhirat, meski dia harus melewati rintangan dan cobaan dengan beban dosa saat melakukan kesalahan di dalam hidupnya di dunia ini. Bahkan manusia diisyaratkan sebagai makhluk spiritual yang sifat aslinya adalah berpembawaan baik (positif, haniif). Karena itu, kualitas, hakikat, fitrah, kesejatian manusia adalah baik, benar, dan indah. Tidak ada makhluk di dunia ini yang memiliki kualitas dan kesejatian semulia itu .
Sungguhpun demikian, harus diakui bahwa kualitas dan hakikat baik benar dan indah itu selalu mengisyaratkan dilema-dilema dalam proses pencapaiannya. Artinya, hal tersebut mengisyaratkan sebuah proses perjuangan yang amat berat untuk bisa menyandang predikat seagung itu. Sebab didalam hidup manusia selalu dihadapkan pada dua tantangan moral yang saling mengalahkan satu sama lain. Karena itu, kualitas sebaliknya yaitu buruk, salah, dan jelek selalu menjadi batu sandungan bagi manusia untuk meraih prestasi sebagai manusia berkualitas mutaqqin di atas.
Gambaran Alquran tentang kualitas dan hakikat manusia di atas megingatkan kita pada teori superego yang dikemukakan oleh sigmund Freud, seorang ahli psikoanalisa kenamaan yang pendapatnya banyak dijadikan rujukan tatkala orang berbicara tentang kualitas jiwa manusia. Menurut Freud, superego selalu mendampingi ego. Jika ego yang mempunyai berbagai tenaga pendorong yang sangat kuat dan vital (libido bitalis), sehingga penyaluran dorongan ego (nafsu lawwamah/nafsu buruk) tidak mudah menempuh jalan melalui superego (nafsu muthmainnah/nafsu baik).
Karena superego (nafsu muthmainnah) berfungsi sebagai badan sensor atau pengendali ego manusia. Sebaliknya, superego pun sewaktu-waktu bisa memberikan justifikasi terhadap ego manakala instink, intuisi, dan intelegensi –ditambah dengan petunjuk wahyu bagi orang beragama– bekerja secara matang dan integral. Artinya superego bisa memberikan pembenaran pada ego manakala ego bekerja ke arah yang positif. Ego yang liar dan tak terkendali adalah ego yang negatif, ego yang merusak kualitas dan hakikat manusia itu sendiri.
PENUTUP Hakekat manusia menurut pandangan para filosof adalah sebagai berikut: pertama, manusia sebagai hewan yang berfikir (thinking animal); kedua, bahwa manusia terdapat kesatuan antara ruh dan jasad yang keduanya mesti dipelihara dan ditumbuhkembangkan oleh ilmu melalui pendidikan yang bersumber kepada Alquran dan al-Sunnah.
Ia menyebut manusia sebagai makhluk berpotensi ganda pula bahkan multi kebutuhan; dan ketiga, Konsep manusia pada asalnya memilki karakter baik, sedangkan perbuatan jahat seperti korupsi itu berasal dari masyarakat atau unsur lain. Ia lebih lanjut mengatakan bahwa manusia yang baik dengan karakternya karena datang dari pencipta alam semesta, jika disentuh atau bergaul dengan manusia, maka manusia itu menjadi jahat; dan keempat, Para ahli sosiologi berbeda dalam memandang manusia, mereka adalah makhluk yang tidak mampu untuk hidup sendiri. Ia harus mempunyai hubungan interdependensi baik.
langsung maupun tidak langsung dengan orang lain. Dengan demikian manusia adalah makhluk social.
Manusia dalam al-Quran terdapat 4 lafadz yaitu: pertama, Kata Insan tersebar ditemukan 65 kali dalam Alquran dengan tiga kategori.
Pertama, dihubungkan dengan keistimewaan sebagai khalifah atau pemikul amanah. Kedua, insan dihubungkan dengan predisposisi negative diri manusia. Ketiga, insan dihubungkan dengan proses penciptaan manusia.
Kedua, Lafadz Al-Basyar disebut dalam al-Quran sebanyak 35 kali. Manusia disebut al-basyar, karena dia cenderung perasa dan emosional sehingga perlu disabarkan dan didamaikan. Manusia sebagai basyar berkaitan dengan unsur material, yang dilambangkan manusia dengan unsur tanah.
Ketiga, Lafadz al-Nas yang mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial. Inilah manusia yang paling banyak disebut al-Qur’an 240 kali. Dan keempat, Lafadz Bani Adam disebut dalam Alquran sebanyak 7 kali. Dalam hal ini setidaknya ada tiga aspek yang dikaji, yaitu: Pertama, anjuran untuk berbudaya sesuai dengan ketentuan Allah, di antaranya adalah dengan berpakaian guna manutup auratnya. Kedua, mengingatkan pada keturunan Adam agar jangan terjerumus pada bujuk rayu setan yang mengajak kepada keingkaran. Ketiga, memanfaatkan semua yang ada di alam semesta dalam rangka ibadah dan mentauhidkanNya