Pandangan Hukum Islam Terhadap Batas Usia Pernikahan

Photo of author
Written By Muhammad Kholiq

Lorem ipsum dolor sit amet consectetur pulvinar ligula augue quis venenatis. 

Batas minimal usia pernikahan semakin diperketat lewat Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dengan terbitnya UU No. 16 tahun Pada UU No. 16 tahun 2019 pasal 7 ayat 1 berbunyi: Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah berumur 19 (sembilan belas) tahun. Perubahan ini dianggap tidak efektif karena berdampak pada menumpuknya permohonan dispensasi kawin yang masuk di Pengadilan Agama.

Fenomena remaja yang hamil diluar nikah Khususnya di Indonesia semakin meningkat. Terbukti dengan adanya 34.000 permohonan dispensasi kawin yang diajukan kepada Pengadilan Agama pada Januari hingga Juni 2020, yang 97%-nya dikabulkan, dari 700 dispensasi kawin yang dikabulkan, 80% disebabkan karena kehamilan diluar nikah.

Secara konsep Islam menawarkan solusi perzinahan dengan mempercepat pernikahan. Rasulullah s.a.w bersabda:

 يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ منكُم الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Artinya: “Hai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian sudah memiliki kemampuan, segeralah menikah, karena menikah dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang belum sanggup menikah, berpuasalah, karena puasa akan menjadi benteng baginya.” (HR Muttafaq ‘alaih).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan fiqih munākaḥāt tentang batas usia pernikahan. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library Research) dengan menggunakan pendekatan Yuridis-Comparative dan pendekatan psikologiPenelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library Research) dengan menggunakan pendekatan Yuridis-Comparative dan pendekatan psikologi.

Dari pantauan peneliti telah terdapat penelitian terdahulu yang meneliti tentang batas usia pernikahan, diantaranya:

  1. Padma D. Liman, dkk. “Tinjauan Hukum Atas Batas Minimal Usia Untuk Melakukan Perkawinan Menurut UU No. 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”. Penelitian ini membahas tentang bagaimana pandangan UU No. 16 Tahun 2019 berkaitan dengan pembatasan usia pernikahan serta alasan pembatasannya. Hubungan jurnal dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah dalam penelitian ini didapatkan data-data berkaitan dengan pembatasan usia pernikahan menurut UU No. 16 tahun 2019. Adapun perbedaan dari penelitian yang diteliti oleh penulis adalah penelitian yang dilakukan oleh penulis lebih berfokus pada pembahasan batas usia pernikahan dan keabsahan pernikahan apabila terjadi pernikahan di bawah batas usia nikah yang di tetapkan dengan membandingkan perspektif antara hukum Islam dengan UU No. 16 tahun 2019 sedangkan pada penelitian ini pembahasannya hanya berfokus pada tinjauan hukum atas pembatasan usia pernikahan pada UU No. 16 tahun 2019.
  2. Sri Rahmawati. Batas Usia Minimal Pernikahan (Studi Komparatif Hukum Islam dan Hukum Positif). Jurnal Hukum Perdata Islam, 2020. Pada penelitian ini membahas batasan usia pernikahan dengan metode membandingkan pendapat hukum Islam di Indonesia dan hukum positif yang berlaku di negara ini berkaitan dengan batas usia pernikahan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah dalam penelitian ini mengangkat banyak hukum-hukum atau peraturan-peraturan yang ada di Indonesia di antaranya pasal 330 KUHP, UU No. 16 tahun 2019, UU No. 1 tahun 1974, pendapat badan kependudukan dan keluarga berencana nasional (BKKBN) dan dll. sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis berfokus pada UU No. 16 tahun 2019 yang merupakan hasil revisi dari UU No. 1 tahun 1974.
batas usia pernikahan
batas usia pernikahan

Batas Usia Pernikahan Dalam Hukum Islam

Dalam syariat Islam sahnya suatu perbuatan hukum harus memenuhi dua unsur yaitu rukun dan syarat. Begitu juga dalam pernikahan, pernikahan haruslah terpenuhi rukun dan syaratnya apabila pernikahan tersebut ingin dianggap sah. Maka dari itu, sebelum menikah hendaknya memperhatikan kedua hal ini dengan baik. Karena ditakutkan apa bila terjadi sebuah pernikahan lalu syarat dan rukunnya tidak terpenuhi, maka pernikahan tersebut bisa jadi rusak atau bahkan batal.

Pada dasarnya, Hukum Islam tidak mengatur secara mutlak tentang usia pernikahan. Tidak adanya ketentuan agama tentang batas umur minimal dan maksimal untuk melangsungkan pernikahan. Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa orang yang melangsungkan pernikahan haruslah orang yang siap dan mampu. Sebagaimana dalam Al-Qur’an surah Al-Nūr/24:32

وَاَنۡكِحُوا الۡاَيَامٰى مِنۡكُمۡ وَالصّٰلِحِيۡنَ مِنۡ عِبَادِكُمۡ وَاِمَآٮِٕكُمۡ‌ ؕ اِنۡ يَّكُوۡنُوۡا فُقَرَآءَ يُغۡنِهِمُ اللّٰهُ مِنۡ فَضۡلِهٖ‌ ؕ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيۡمٌ

Terjemahnya: Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.

Terkait dengan batas usia pernikahan menurut pandangan hukum Islam (Fikih) terdapat berbagai macam pendapat. Sebagai mana yang diketahui kebolehan menikahkan anak di usia 6 tahun (belum balig) berdasarkan dalil dari Aisyah yang diriwayatkan oleh Muslim:

Dari Aisyah ia berkata “ Rasulullah saw. menikahiku di usia enam tahun, dan menggauliku di usia sembilan tahun”.

Sebagian ulama memahami hadis ini secara tekstual, sehingga menurut mereka akad, akad bagi anak yang berusia 6 (enam) tahun atau lebih adalah sah. karena secara fisik, pertumbuhan anak tersebut sudah tergolong dewasa. Tetapi pernikahannya baru sebatas akad saja dan belum digauli (berkumpul). Sebagian lagi memahami hadis ini secara kontekstual, di mana hadis ini hanya sebagai berita dan bukan doktrin yang harus dilaksanakan atau ditinggalkan, karena bisa jadi di daerah Hijaz pada masa Rasulullah, umur sembilan tahun atau di bawahnya dikatakan sudah dewasa. Sebagai khabar atau isyarat hadis ini tidak menunjukkan perintah melaksanakan perkawinan pada usia 6 (enam) tahun, sebagaimana pernikahan Rasulullah dengan Aisyah.

Adapun mengenai pernikahan Nabi saw. dengan Aisyah menimbulkan pro-kontra di sejumlah kalangan. Hal ini didasarkan pada perbedaan pemahaman dalam menilai hadis itu. Secara akal sehat, anak yang dinikahkan dalam usia belia, khususnya ketika berumur 6 tahun tentu mengalami sebuah kondisi psikis yang tidak diinginkannya. Meskipun dalam hukum fikih menyatakan bahwa pernikahan anak yang belum sampai umur diputuskan oleh wali atau orang tuanya.

Pemahaman istilah balig atau dewasa bersifat relatif berdasarkan kondisi sosial kultur, sehingga ketentuan tentang dewasa dalam usia pernikahan para ulama mazhab berbeda pendapat baik yang ditentukan dengan umur, maupun dengan tanda-tanda fisik lainnya. Pertama, golongan Syāfiiyah dan Hanābilah. Menetapkan bahwa masa dewasa seorang anak itu dimulai umur 15 tahun.

Walaupun mereka dapat menerima tanda-tanda kedewasaan seseorang ditandai dengan datangnya haid bagi perempuan dan mimpi bagi laki-laki. Akan tetapi tanda-tanda tersebut tidak sama datanya pada setiap orang sehingga ditentukan dengan standar umur. Kedua, Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa ciri kedewasaan itu datangnya mulai umur 19 tahun bagi lak-laki dan umur 17 tahun bagi perempuan. Ketiga, Imam Maliki menetapkan bahwa usia dewasa seseorang ketika berumur 18 tahun bagi laki-laki dan perempuan.

Adapun pendapat Imam Hanafi tanda balig bagi seorang laki-laki ditandai dengan mimpi dan keluarnya air mani sedangkan perempuan ditandai dengan haid, namun jika tidak ada tanda-tanda dengan keduanya maka dewasa ditandai dengan usia yaitu 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan. Menurut Imam Malik, balig ditandai dengan keluarnya mani secara mutlak dalam kondisi mengkhayal bahkan jika ia tertidur, ataupun tumbuhnya rambut di anggota tubuh. Menurut Imam Syafi’i bahwa batasan balig adalah 15 tahun bagi laki-laki dan 9 tahun bagi perempuan. Menurut Hambali laki-laki ditandai dengan mimpi atau 15 tahun sedangkan bagi perempuan ditandai dengan haid.

Masalah perkawinan di samping termasuk masalah ibadah, juga termasuk masalah hubungan antara manusia atau muamalah, yang dalam agama hanya diatur dalam bentuk-bentuk prinsip umum (universal) saja. Oleh karena itu masalah kedewasaan atau batasan umur menikah harus dipahami sebagai masalah ijtihādiyaah, sehingga memungkinkan untuk melakukan pemahaman dan kajian lebih dalam terhadap persoalan-persoalan yang berhubungan dengan batas usia perkawinan, sesuai dengan situasi dan kondisi di mana dan kapan aturan itu ditetapkan.

Oleh sebab itu Islam tidak menjelaskan secara jelas tentang batas usia pernikahan karena suatu pernikahan dianggap sah, apabila telah memenuhi syarat dan rukun. Meskipun masalah kedewasaan atau batas usia perkawinan tidak termasuk ke dalam syarat dan rukun nikah, namun para ulama berbeda pendapat dalam menghadapi hal ini, karena faktor kedewasaan atau umur merupakan kondisi yang amat penting.

batas usia pernikahan
batas usia pernikahan

Batas Usia Pernikahan Dalam Hukum Positif

Pembatasan usia pernikahan diatur dalam peraturan perundang-undangan nasional. Batas usia pernikahan dalam UU nomor 16 tahun 2019 diatur dalam pasal 7 yang berbunyi:

  • Pertama, perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.
  • Kedua, dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/ atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai cukup bukti-bukti pendukung yang cukup.
  • Ketiga, pemberian dispensasi oleh Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan.
  • Keempat, ketentuan-ketentuan mengenai keadaan seorang atau kedua orang tua calon mempelai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) berlaku juga ketentuan mengenai permintaan dispensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

Dengan disahkannya pasal ini, pernikahan di Indonesia barulah dianggap sah apabila usia mempelai telah mencapai usia 19 tahun, di bawah dari itu pernikahan dianggap tidak sah secara undang-undang dan tidak bisa diterbitkan buku nikah bagi mempelai tersebut.

Dalam penentuan batas usia perkawinan menurut ketua KPAI, Susanto harus hati-hati soal berapa usia yang tepat, apakah 18, 19, atau sekian tahun. Karena dalam menetapkan usia minimal perkawinan mempertimbangkan banyak hal seperti aspek kesehatan, pendidikan, fikih keagamaan, kebijakan, dan lain-lain. Penetapan minimal usia perkawinan harus dapat menjawab berbagai persoalan sesuai kebutuhan, yaitu melindungi anak, terutama bagi perempuan.

Adanya pembatasan ini dimaksudkan agar tujuan perkawinan dapat diwujudkan, jauh dari perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat, sebab perkawinan dijalani oleh pasangan yang dianggap telah matang jiwa raganya. Selain itu, adanya pembatasan ini akan membantu menghambat tingginya laju kelahiran dan pertumbuhan penduduk.

Pernikahan anak merupakan pelanggaran hak anak, terutama bagi perempuan. Angka pernikahan anak di Indonesia masih terbilang cukup tinggi. Tercatat ada satu dari sembilan anak perempuan menikah di bawah usia 18 tahun pada 2016. Kebanyakan berkorelasi dengan kemiskinan karena 59, 5 % terjadi di keluarga miskin dan 3 kali lebih banyak terjadi di daerah pedesaan. Perempuan umur 20-24 tahun yang menikah sebelum berusia 18 tahun di tahun 2018 diperkirakan mencapai sekitar 1.220.900 dan angka ini menempatkan Indonesia pada 10 negara dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia.17 Hal ini terjadi karena aturan hukum yang longgar karena masyarakat memandang tak ada batasan usia menikah selama ada izin dari orang tua. Dampak yang ditimbulkan dari pernikahan dini adalah sebagai berikut:

  1. Pertama, partisipasi pendidikan yang rendah terkhusus bagi perempuan dikarenakan usia menikah yang di bawah 18 tahun 4 kali lebih tidak lulus SMA. Data Susenas 2018 memperlihatkan tingkat pencapaian pendidikan yang lebih tinggi untuk yang menikah di atas 18 tahun. Untuk perempuan, hampir separuh (45,56 persen) yang menikah di usia dewasa menyelesaikan sekolah menengah atas (SMA). Rata-rata lama sekolah baik untuk perempuan maupun laki-laki usia 20-24 tahun yang melangsungkan perkawinan setelah usia 18 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang melangsungkan perkawinan sebelum usia 18 tahun.18
  2. Kedua, lebih rentan mengalami kekerasan rumah tangga.
  3. Ketiga, kehamilan di bawah usia 19 (sembilan belas) tahun berpotensi menyebabkan kematian.
  4. Keempat, bayi yang lahir 1,5 kali lebih rentan meninggal selama 28 hari pertama.

Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA, Lenny N Rosalin menjelaskan dan mengingatkan kepada seluruh pemangku kepentingan utamanya para pimpinan daerah bahwa banyak akibat yang terjadi jika perkawinan anak kita biarkan.

Ada 3 (tiga) dampak yang paling tampak dan mudah diukur, yakni dampak terhadap pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.

  1. Pertama, pendidikan karena sebagian besar perkawinan anak menyebabkan anak putus sekolah, sehingga menghambat capaian Wajib Belajar 12 Tahun. Hal ini di tunjukan dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2008.
  2. Kedua, kesehatan karena hal ini terkait kondisi kesehatan reproduksi seorang anak jika memiliki anak, pemenuhan gizinya ketika mereka juga harus mengasuh anak mereka, bahkan hal terburuk adalah risiko kematian ibu dan anak.
  3. Ketiga, ekonomi karena seorang anak yang menikah pada usia anak susah untuk mendapatkan pekerjaan yang layak untuk menafkahi keluarganya, mendapatkan upah yang rendah, lalu akhirnya memunculkan kemiskinan dan masalah pekerja anak.

Perkawinan usia anak kerap kali terjadi dengan latar belakang orang tua yang ingin meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga. Bagi rumah tangga miskin, kebanyakan anak perempuan dianggap sebagai beban ekonomi dan perkawinan dianggap sebagai solusi untuk melepaskan diri dari kemiskinan dan ini sesuai dengan data Susenas 2018 yang memperlihatkan bahwa anak dari Keluarga dari kuintil ekonomi terendah paling berisiko pada perkawinan anak.

Susenas Maret 2018 justru menunjukkan tingkat kemiskinan antara perempuan usia 20-24 tahun yang kawin pada usia sebelum 18 tahun (13,76 persen) dengan mereka yang kawin di atas usia 18 tahun (10,09 persen). Hal ini dapat berarti: kemiskinan menjadi faktor pendorong praktik perkawinan anak, namun bukan faktor utama atau faktor satu-satunya.

Pendidikan, kesehatan, dan ekonomi adalah 3 variabel yang digunakan untuk menghitung Indeks Pembangunan Manusia (IPM), sehingga tingginya perkawinan anak akan berpengaruh terhadap rendahnya IPM.

Usia yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai batas usia pernikahan merupakan usia yang dianggap sudah siap secara fisik, rohani dan psikologi. Sedangkan di bawah dari itu masih dianggap sebagai remaja. Jika dilihat dari segi psikologis usia remaja belum bisa dikatakan matang secara psikologi, karena usia remaja belum mempunyai kepribadian yang mantap (masih labil, dan pada usia remaja pada umumnya belum mempunyai pegangan dalam hal sosial-ekonomi. Remaja masih canggung dalam hidup berbaur dengan masyarakat luar dan mereka belum mempunyai pekerjaan yang tetap dan kadang masih bergantung pada orang lain.

Dampak psikologis dari pelaksanaan pernikahan dini dapat menimbulkan terjadinya kecemasan, stres, depresi dan perceraian. Pada umumnya pasangan remaja kurang begitu memahami arti sebuah ikatan suci pernikahan, mereka melakukan pernikahan semata-mata hanya karena cinta dan dorongan dari orang tua si gadis agar anaknya lekas menikah supaya tidak dianggap sebagai perawan tua.

Setelah menikah, hamil dan mempunyai anak, pasangan remaja mulai merasa ketakutan bahwa peran baru sebagai orang tua terutama pada ibu akan membatasi kebebasan mereka dalam bergaul, hilangnya kesempatan untuk bersantai dengan teman-teman sebaya dikarenakan tuntutan tanggung jawab yang harus mereka emban dalam mengurus dan mengasuh.

Belum lagi dengan beban pekerjaan rumah tangga lainnya yang banyak menyita waktu, membuat mereka sering dihinggapi rasa putus asa dan menyesal mengapa harus menikah dini. Keadaan seperti inilah yang sering memicu timbulnya pertengkaran dalam rumah tangga yang terkadang terlontar ancaman akan diceraikan oleh suami yang membuat istri terancam, takut dan tertekan bila hal tersebut dilakukan. Sehingga istri yang masih belia memilih untuk banyak mengalah dan pasrah menghadapi semua yang dianggap sebagai takdir yang telah digariskan kepadanya.

Tinggalkan komentar