Problematika Hukum Bercadar Dalam Islam: Tinjauan Normatif Historis

Photo of author
Written By Najib

Lorem ipsum dolor sit amet consectetur pulvinar ligula augue quis venenatis. 

Hukum Bercadar Dalam Islam – Secara historis perhatian Indonesia terhadap fenomena jilbab dan cadar, mulai tertuju ketika Pemerintahan Orde Baru mengeluarkan kebijakan yang sempat melarang penggunaan jilbab di sekolah maupun di ruang kerja. Pasca reformasi, jilbab mulai mendapatkan kebebasannya sebagai identitas perempuan muslim,meskipun masih ada kontroversi mengenaipemaknaanpenggunaan jilbab.

Cadar merupakan versi lanjutan daripenggunaan jilbab, dalam studi tafsir Islamsendiri dalil-dalil yang mengatur mengenai wajib atau tidaknya penggunaan cadar masih diperdebatkan. Namun satu hal yang pasti, penggunaan cadar membawa konsekuensi penolakan lebih besar dari jilbab. Selain persoalan stigma yang dilekatkan pada perempuan bercadar yakni aliran Islam fundamental yang erat juga kaitannya dengan terorisme, cadar kini juga menghadapi penolakan teknis terutama yang berkaitan dengan pelayanan publik (Lintang Ratri, 29).

Cadar memang selalu menjadi isu yang kontroversial dalam Islam, bahkan beberapa waktu yang lalu, masyarakat muslim Indonesia kembali dikagetkan dengan pemberitaan dari media massa baik cetak maupun eletronik, tentang dikeluarkannya surat edaran No. B-1301/Un.02/R/AK.08.3/02/2018 oleh Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Yudian Wahyudi yang tertanggal 20 Februari 2018perihal“Pembinaan Mahasiswi Bercadar” bagi mahasiswi di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Keputusan Rektor tersebut mendapat banyak tanggapan dan tekanan dari berbagai pihak. Sehingga demi menjaga iklim akademik yang kondusif, selang beberapa waktu kemudian tepatnya 10 Maret 2018, terbitlah surat No. B-1679/Un.02/R/AK.003/03/2018 perihal “Pencabutan Surat tentang Pembinaan Mahasiswi Bercadar”.

Pemberitaan tentang perihal Kebijakan Rektor UIN Suka tersebut, kembali mengangkat “Cadar” menjadi tren percakapan di berbagai media (cetak, elektronik dan online), serta berbagai komunitas diskusi virtual, seperti watsapp, Line dan Facebook. Banyak pendapat dari berbagai kalangan turut menanggapi pemberitaan tersebut. Mulai dari kalangan civitas akademik UIN Suka Yogyakarta, masyarakat biasa, hingga kalangan intelektual dari berbagai wilayah.

Umi Kalsum, salah seorang mahasiswi bercadar misalnya – sebagaimana dituliskan oleh Usman Hadi dalam detiknews.com– memberitanggapan perihal surat “Pembinaan Mahasiswi Bercadar”. Menurut Kalsum,“bisa dipahami jika pihak kampus sebatas mendata mahasiswa bercadar dan bukan melarang penggunaan cadar, karena setiap mahasiswi berhak untuk memilih menggunakan cadar atau tidak” (Usman Hadi: 5 Maret 2018).

Sementara itu, Direktur Eksekutif Maarif Institute, Muhammad Abdullah Darraz – sebagaimana ditulis Sitepu dalam BBC Indonesia – berpendapatbahwa perubahan sikap Rektor UIN Sunan Kalijaga perihal pencabutan kembali surat “Pembinaan Mahasiswi Bercadar”, didasari oleh sejumlah pandangan dan bukan tekanan dari kelompok masyarakat. Menurut Darraz, meski di sisi lain tekanan sosial memang kerap menyebabkan diskriminasi ke kelompok minoritas. Tetapi tidak semua persoalan harus selalu diatasi dengan pendekatan regulative dengan melarang atau mengatur, dan membolehkan atau tidak membolehkan (Mehulika Sitepu: 13 Maret 2018).

Pemberitaan tentang polemik cadar tersebut, turut mengundang tanggapan daridosen Antropologi Budaya King Fahd University of Petroleum and Minerals Dhahran Saudi Arabia, Prof. Sumanto Al-Qurtuby. Menurut Al-Qurtuby sebagaimana dikutip dalam Kompasiana, bahwa cadar bukanlah sebuah kewajiban dalam Islam. Cadar lahir dari budaya dan situasi dan kondisi sosial serta lingkungan Timur Tengah, jauh sebelum kelahiran Islam.

Cadar pun dipakai oleh berbagai umat beragama, serta bukan sebagai tanda khas seorang perempuan Islam atau Muslimah. Karenanya, surat pemberitahuan yang diterbitkan pada bulan Februari tersebut menurut Sumanto, merupakan alasan yang masuk akal dan praktis demi keamanan. Lanjutnya, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ingin menunjukkan kepada dunia bahwa moralitas, spiritualitas, dan kedewasaan iman seorang Muslimah, tak tergantung pada ia bercadar atau tidak. Sebaliknya, dengan bercadar, bisa membangun paradigma yang negatif tentang cadar, bahwa di balik cadar tersebut tersimpan wajah-wajah kekerasan dan radikalisme (Ade Retno: 9 Maret 2018).

Bagi sebagian umat Islam, cadar dianggap sebagai perintah Allah yang telah tercantum di dalam Kitab Suci Al-Qur’an. Namun banyak pula umat Islamberpendapat bahwa apapun justifikasi terhadap cadar di masa lalu, hal itu tidak mempunyai relevansi sama sekali dengan zaman modern.

Sementara kalangan umat Islam ortodoks, khususnya ulama, di sisi lain menganggap cadar bagi perempuan sebagai kebutuhan yang absolut dan menjalankannya dengan semua kekakuan yang bisa dilakukan.Karenanya, interaksi yang dibangun oleh perempuan bercadar, terkadang mendapat berbagai respon dari lingkungan sosial. Perempuan bercadar kerap mengalami kesulitan atau hambatan dalam proses komunikasi untuk membangun hubungan secara personal dengan masyakarat, hal ini yang menjadikan perempuan bercadar terkesan menutup diri dan dipandang negatif oleh masyarakat.

Hukum Bercadar Dalam Islam

Pengertian Dan Karakteristik Bercadar

Cadar adalah kain penutup muka atau sebagian wajah wanita, minimal untuk menutupi hidung dan mulut, sehingga hanya matanya saja yang tampak. Dalam bahasa Arab, cadar disebut dengan khimar, niqab, sinonim dengan burqa’. (Mulhandi Ibn Haj, 2006: 06). Sementara dalamKamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI), cadar berarti kain penutup kepala. Dengan demikian, cadar dapat difahami sebagai pakaian perempuan yang menutupi bagian kepala dan wajah, sehingga yang nampak hanya kedua mata saja.

Wanita muslim bercadar adalah mereka yang mengenakan “hijab” yang sesuai syar’i karena dilengkapi dengan kain penutup wajah, dan hanya menampakkan kedua mata. Kata Hijabmerupakan masdar dari fi’il tsulatsil mujarrad“hajaba yahjibu hajban wa hajiban” bisa mempunyai arti al-mani’ ‘an al-nazar, yaitu suatu yang menjadi penghalang dari penglihatan, atau bisa berarti al-satir, sesuatu yang dapat menutupi. Kata al-hajib bisa berarti bawwab (penjaga pintu atau juru kunci), mutahajjibah ialah wanita yang menutupi diri atau seluruh badannya dengan pakaian. Kata mahjub ialah sesuatu yang ditutupi atau dihalangi. Dengan demikian arti kata al-hijab ialah seputar penghalang atau penutup, sehingga kata khimar dan niqab,termasuk di dalamnya.

Khimar berasal dari kata khamara-yakhmuru-khamran, artinya menutupi dan menyimpan sesuatu. Segala macam minuman keras dikatakan khamr, karena dapat menutupi akal. Khimar merupakan isim mufrad sedangkan kata jamaknya ialah khumur / khumr / akhmirah, artinya sesuatu (kain) yang dapat menutupi kepala. Menurut Ibnu Katsir, khimar ialah sesuatu yang dapat menutupi kepala dan juga sering dinamakan maqani (penutup kepala dan wajah). Sedangkan Biqa’I dan Abu Hayyam berpendapat bahwa khimar ialah kerudung yang diletakkan di atas kepala. Dengan demikian khimar ada dua macam, yaitu kain penutup kepala tanpa wajah dan penutup kepala dan wajah.

Sementara Niqab dalam bahasa Arabmempunyai banyak arti, diantaranya: (1) warna, contoh: niqaabul mar’ah artinya warna kulit perempuan, karena niqab bisa menutupi warna kulit perempuan dengan warna yang sama; (2) cadar (qina’) di atas pucuk hidung adalah penutup hidung dan wajah wanita.

Kebudayaan itulah yang memasok pelaku dengan motivasi, mendukungnya dengan norma-norma, ideal-ideal, nilai-nilai, dan sebagainya. Kebudayaannlah yang memberi makna serta legitimasi bagi tindakan manusia, baik individual maupun sosial.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa cadar merupakan hijab yang dapat membatasi dan menutupi wajah seorang wanita dari penglihatan manusia.Umat Islam di luar daerah Arab mengenal cadar (niqab) dari salah satu penafsiran ayat Al-Qur’an di surat An-Nur dan surat Al-Ahzab yang diuraikan oleh sebagian sahabat Nabi, sehingga pembahasan cadar wanita dalam Islam masuk dalam salah satu pembahasan disiplin ilmu Islam, termasuk fikih dan sosial.

Penggunaanjilbab bercadar banyak dijumpai di Arab Saudi atau Timur Tengah, hal demikian bisa kita pahami dari segi iklim cuaca yang panas ataupun karena faktor geografis yang berada di gurun pasir. Sementara di wilayah Indonesia sendiri, yang menjadi faktor seseorang mengunakan cadar adalah lahir dari dorongan pribadi ataupun dari pengaruh lingkungan seperti keluarga, teman, organisasi maupun yang lainnya.

Hukum Bercadar Dalam Islam

Sejarah Penggunakan Cadar Dalam Islam

Pada masa jahiliyah dan awal Islam, wanita-wanita di Jazirah Arabiah memakai pakaian yang pada dasarnya mengundang kekaguman pria, di samping untuk menampik udara panas yang merupakan iklim umum padang pasir. Mereka juga memakai kerudung, hanya saja kerudung tersebut sekedar diletakkan di kepala dan biasanya tersulur ke belakang, sehingga dada dan kalung yang menghiasi leher mereka tampak dengan jelas. Bahkan boleh jadi sedikit dari daerah buah dada dapat terlihat karena longgar atau terbukanya baju mereka itu.

Telinga dan leher mereka juga dihiasi anting dan kalung (Hasan‘Audah, 2000: 101-102). Hal ini menunjukkan bahwa cadar bukanlah bagian dari tradisi maupun budaya masyarakat Arab Jahiliyah.

M. Quraish Shihab dalam penelitiannya juga mengungkapkan, bahwa memakai pakaian tertutup termasuk cadar bukanlah monopoli masyarakat Arab, dan bukan pula berasal dari budaya mereka (Shihab, 2014: 48). Bahkan menurut ulama dan filosof besar Iran kontemporer, Murtadha Mutahhari, bahwa hijab termasuk cadar telah dikenal di kalangan bangsa-bangsa kuno, jauh sebelum datangnya Islam, serta di tempat-tempat lain, bahkan lebih keras tuntunannya daripada yang diajarkan Islam (Mutahhari, 1990:34).

Pakar lain menambahkan, bahwa orang-orang Arab meniru orang Persia yang mengikuti agama Zardasyt dan yang menilai wanita sebagai makhluk tidak suci, karena itu mereka diharuskan menutup mulut dan hidungnya dengan sesuatu agar nafas mereka tidak mengotori api suci yang merupakan sesembahan agama Persia lama.

Setelah Islam datang, penggunaan cadar bagi perempuan muslim tidak diperintahkan dan tidak pula dilarang, melainkan membiarkannya menjadi tradisi bagi manusia (Syuqqah, 1997: 290).Menurut Abu Syuqqah, Islam mengakui cadar dan memperbolehkannya demi memberikan kelapangan kepada segolongan perempuan mukmin yang menjadikannya sebagai mode pakaiannya dari satu sisi, dan dari sisi lain karena cadar tidak menganggu satu kepentingan pun dari kepentingan kaum muslim di dalam masyarakat kecil yang membiasakannya. Konsep ini didasarkan pada berfirman Allah:


هُوَ ٱجۡتَبَىٰكُمۡ وَمَا جَعَلَ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلدِ ينِ مِنۡ حَرَ ج ……٨٧

“Dan Ia (Allah) tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”. (Q.S. al-Hajj/22: 78)

Pada perkembangan selanjutnya, dalam tiga momen sejarah, cadar berubah menjadi sebuah simbol. Pada masa pemaksaan untuk tidak memakai cadar oleh Syah Reza, bagi seorang perempuan tampil tanpa cadar merupakan symbol modernitas dan perubahan; selama revolusi tahun 1979, pemakaian cadar merupakan symbol resistensi terhadap Syiah; akhirnya, pada masa pembangunan Republik Islam, pemaksaan cadar merupakan symbol kemajuan dari sisi Islam dan kemunduran bagi yang lain. Pada waktu yang lain, memakai atau tidak memakai cadar merupakan masalah pilihan pribadi, apakah dengan alasan agama atau kemiskinan, kebiasaan, kecocokan dan lain sebagainya. (Asghar Ali Engineer, 2003:45).

Pada masa awal perkembangan Islam di Indonesia, secara tradisional belum ditemukan pemakaian jilbab1 apalagi cadar di kalangan perempuan Muslim. Secara umum, saat itu penggunaan jilbab bercadar hanya banyak dijumpai di Arab Saudi atau Timur Tengah. Hal ini dapat dipahami karena dari segi faktor geografis yang berada di gurun pasir.Sementara di Indonesia, perempuan muslim biasanya hanya memakai kerudung (penutup kepala yang terbuat dari kain tipis).

Pascarevolusi Iran, jilbab mulai diperkenalkan kepada perempuan muslim di tanah air. Sehingga sampai saat ini, jilbab, dengan dukungan industry fashion dan media, menjadi pakaian popular bagi perempuan muslim hampir di seluruh dunia, termasuk Indonesia (Ahmad Shiddiqi, 2008:22).

Tidak seperti halnya “jilbab” yang bisa masuk ke dalam budaya lokal Indonesia dan bahkan mampu menembus media massa, cadar justru mengalami hal sebaliknya.Pemahaman masyarakat terhadap cadar, masih ada jarak dengan budaya setempat. Cadar belum sepenuhnyaditerima oleh masyarakat Indonesia secara umum, bahkan media di Indonesia pernah menampilkan cadar sebagai bagian dari indikator identitas isteri teroris, dan pandangan inilah yang justru mendominasi cara pandang masyarakat Indonesia terhadap cadar.

Stigma negatif tentang perempuan bercadar, bermula saat terjadinya peristiwa “Bom Bunuh Diri” di kawasan Legian Bali pada 12Oktober 2002. Korban meninggal pada peristiwa itu berjumlah 202 jiwa dan ini merupakan aksi teroris terparah sepanjang sejarah Indonesia. Media massa saat itu tidak hanya memberitakan tentang pelaku-pelaku peledakan bom Bali saja, namun juga menampilkan sosok istri-istri mereka yang semuanya memakai cadar, dilansir dari (Liputan6.com pada 07/05/2017 pukul 22.59 WIB).

Setelah pemberitaan ini, masyarakat kembali dikagetkan dengan berita-berita lain terkait aksi terorisme di Bekasi (lih.news.okezone.com pada 07/05/2017 pukul 22.14 WIB) dan Jakarta (lih. jateng.tribunnews.com diakses pada 07/05 /2017 pukul 22.11 WIB) yang turut memberitakan isteri dari para tersangka yang kesemuanya bercadar.

Budaya cadar bagi perempuan muslim, bisa jadi berasal dari tradisi masyarakat selain Arab (sebagaimana telah dijelaskan), bisa pula wanita bercadar sudah menjadi tradisi masyarakat Arab Jahiliyah, baik untuk membedakan antara wanita merdeka dengan budak sehaya, atau terdapat maksud lain. Namun fenomena perbedaan asal-usul wanita bercadar, tidak penting dijadikan perdebatan apalagi sampai mengecam agama dan mencaci masyarakat tertentu.

Belakangan, pemakaiancadaroleh perempuan muslim di Indonesia, mulai banyak terlihat khususnya di wilayah-wilayah urban. Meskipun di antara mereka beberapa yang masih memiliki rasa toleransi dengan perempuan lain yang tidak mengenakan cadar, tetapi ada pula beberapa di antara mereka menggunakan alasan keagamaan yang berpihak pada pemakaian cadar.

Identitas Cadar Bagi Perempuan Muslim

Secara historis-sosiologis, cadar, jilbab dan hijab syar’i lainnya tidak bisa dilepaskan dari wacana tubuh sebagai identitas sosial. Tubuh tidak hanya sema-mata menyandang identitas fisik, namun juga identitas sosial dan bahkan menciptakan batasan-batasan sosial tertentu.

Linda B. Arthur melihat bahwa pakaian memiliki kompleksitas makna dimana tubuh bisa dibaca sebagai komunikasi nilai-nilai sosial dan agama. Mengambil studi kasus pada beberapa model dan makna pakaian dari berbagai komunitas masyarakat yang memiliki latar belakang yang berbeda, seperti komunitas Mennonite, Amish dan Mormon, Laie Hawai, Afghanistan dan Hasidic, ia menggarisbawahi bagaimana pakaian pada sebuah kelompok beragama digunakan dalam sebuah hirarki sosial untuk memfasilitasi agenda-agenda sosial dan ideologi. Arthur juga juga menjelaskan bagaimana tubuh sebagai simbol budaya dapat digunakan untuk mengekspresikan: 1) identitas personal dan sosial, 2) hirarki sosial, 3) definisi tentang ketaatan, 4) sistim kontrol sosial, dan 5) kekuasaan patriarki dalam sebuah komunitas beragama (Arthur, 2000: 3).

Jilbab dan cadar merupakan sebuah simbol dan bentuk komunikasi non verbal yang memberikan tanda secara langsung mengenai identitas dirinya sebagai seorang perempuan Muslim, tanpa harus mengucapkannya melalui kata-kata kepada orang lain.
Pada masa awal Islam, penggunaan jilbab dan cadar tidak hanya menunjukkan identitas sebagai perempuan muslim, namun juga menunjukkan identitasnya sebagai perempuan merdeka atau budak.

Haruslah dipahami di sini, bahwa sebelum Islam berkembang, ada sejenis pakaian yang biasa dipakai oleh golongan elit, ada yang biasadikenakan oleh masyarakat umum, dan ada pula yang biasa dipakai olehpembantu dan bekas budak. Wanita-wanita merdeka dan terhormat berciri khas dengan memakai kain yang menutupi mukanya dengan tersisa matanya saja yaitu niqab (cadar) bersama pakaian yang lain seperti jilbab.Sedangkan wanita miskin atau budak memakai pakaian minim dan membuka wajahnya. Bahkan kadang-kadang membuka kepalanya, seakan-akan sebagai simbol kepapaan. Sebaliknya, bercadar sebagai simbol kemewahan (Syuqqah, 1997: 293).

Pada saat yang sama, Islam telah memberdayakan perempuan dengan kesopanan, menyempurnakan bentuk penggunaan jilbab maupun cadar. Penggunaancadar bersama dengan jilbab oleh perempuan muslim,dapat membedakannya dengan perempuan jahiliyah yang senang mengekspos daya tarik seksual mereka dan mereduksinya menjadi objek seksual laki-laki. Perempuan dididik untuk melindungi diri mereka sendiri dari perhatian yang tidak pantas oleh kaum lelaki, dengan cara memakai pakaian yang bermartabat dan membiarkan terbuka hanya bagian tubuhnya yang secara umum oleh masyarakat dianggap tidak mengundang daya tarik seksual.

Setelah Islam berkembang dan ketika orang-orang Arab mampu menaklukkan masyarakat Romawi Timur dan Kerajaan Sasanid yang sangat kompleks dan feodal, “perempuan” seperti dalam masyarakat tersebut, mulai ditaklukkan lagi. Dengan adanya proses feodalisasi masyarakat Islam, perempuan lagi-lagi kembali menjadi makhluk “yang tak bersuara” dan “tak berdaya”. Berbagai larangan muncul untuk dipaksakan kepada kaum perempuan.

Perempuan dibatasi dalam tugas-tugas domestik, serta perannya sebagai ibu dan melahirkan anak dibesar-besarkan (Engineer, 2007: 94). Penggunaan cadar pada masa ini tidak hanya sekadar sebagai identitas kemuslimahannya, tetapi juga karena wajah dan kecantikan perempuan dianggap fitnah yang berbahaya bagi para lelaki bangsawan dan oleh karena itu perempuan dibatasi dan ditutup dengan cadar. Dalam pandangan masyarakat ini pemakaian cadar terhadap perempuan menjadi norma yang diterima secara sosial.

Identitas dan stigma cadar terhadap perempuan ini, terus berkembang dan menjadi lebih ekstrim pasca aksi terorisme yang menghancurkan Gedung WTC pada 11 September 2001 di Amerika Serikat.Baikjilbab terutama cadar mendapatkan penolakan besar-besaran di hampir seluruh wilayah eropa, terutama Amerika. Bagi anggota keluarga korban dan penduduk eropa lainnya, cadar merupakan identitas perempuan muslim radikal atau bagian dari teroris.

Sementara itu bagi perempuan muslim Indonesia, penggunaan cadar sekarang ini bukan sekedar caraberbusana. Ia merupakan bentuk dari ekspresi identitas keagamaan. Karena itu perdebatan tentang pemakaian cadar di kalangan muslim Indonesia muncul terkait dengan perbedaan pemahaman dalamberagama dan sekaligus terkait dengan kesesuaian cara berpakaian demikian dalam konteks Indonesia.

Bagi perempuan muslim Indonesia yang bercadar, menganggap bahwa cadar adalah manifestasi dari bentuk keshalehan dan ketakwaannya terhadap Tuhan. Semakin tinggi ketakwaan seorang perempuan, sudah seharusnya mendorong ia untuk semakin menutup aurat secara sempurna dengan bercadar. Dan karenanya ia bisa menjadi sholehah, yaitu wanita muslimah sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam surat Al Ahzab ayat 35 bahwa salah satu kriteria yang disebut wanita sholehah adalah seorang wanita yang mampu memelihara kehormatannya (Novri, 2016: 7).

Adapula yang mengidentikkan cadar dengan budaya timur tengah, sehingga cadar dianggap sebagai bagian dari identitas perempuan Arab. Dalam konteks ini, pemakaian cadar oleh perempuan dianggap sebagai suatu budaya berpakaian, sehingga hal itu menjadi lumrah bagi penduduk Arab. Sementara di Indonesia, pemakaian cadar adalah sesuatu hal yang baru dan bisa dianggap berlebihan karena meniru gaya berpakaian bangsa lain.

Pada saat yang sama, cadar juga diidentikkan dengan terorisme dan pengikut aliran sesat. Hal ini tentu bukan tanpa alasan, melainkan karena maraknya berbagai pemberitaan yang memunculkan paraperempuan bercadar di media elektronik maupun cetak, baik offline maupun online, setiap kali ada pemberitaan tentang tersangka yang terlibat dalam tindakan terorisme. Penangkapan para tersangka tindakterorisme yang terjadi di Indonesia, yang diberitakan secara luas oleh media massa tidak hanya menguak profil seorang teroris, namun juga menampilkan sosok istri-istri pelaku peledakan yang hampir semuanya mengenakan cadar. Akhirnya cadar sering dikaitkan dengan haluan pemikiran garis keras yang berpotensi besar dijadikan kelompok yang mendukung aksi terorisme. Sehingga menurut hemat penulis, identitas cadar bagi perempuan muslim lain dan masyarakatIndonesia, sebenarnya merupakan hasil kontruksi media massa.

Persoalan cadar, terlepas dari mana asal-usulnya, sudahmenjadi pembahasan ulama klasik, bahkan dari masa Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui bagaimana posisi Al-Qur’an. Kalangan muslim tradisional selalu beralasan bahwa memakai cadar adalah perintah Al-Qur’an, dan perempuan yang tidak memakai cadar melakukan pelanggaran terhadap hukum Islam. Maka dari itu perlu dikaji dan diketahui Bersama,dengan melihat ayat-ayat yang relevan mengenai hukum pemakaian cadar.

Hukum Bercadar Dalam Islam (Alqur’an)

Islam agama yang bersifat eksklusif (infitah), tidak inklusif (inghilaq), sehingga banyak sekali beberapa budaya atau ajaran umat sebelum Islam dijadikan ajaran agama Islam, seperti halnyajilbab dan cadar. Sebelum datangnya Islam, jilbab dan cadar merupakan budaya berpakaian perempuan Arab yang menjadi hiasan bagi mereka sekaligus sebagai penanda bagi identitas sosialnya dalam masyarakat. Perempuan yang bercadar dan berjilbab, menunjukkan identitas mereka sebagai keturunan bangsawan. Sementara mereka yang hanya menggunakan jilbab, menunjukkan identitasnya sebagai perempuan merdeka. Adapun mereka yang tidak mengenakan keduanya baik jilbab maupun cadar, mneunjukkan identitasnya sebagai seorang perempuan budak.Setelah Islam datang, cadar dan jilbab kemudian mengalami penyempurnaan baik dari segi bentuk maupun fungsinya. Hal ini dapat dilihat dari firman Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 31 yang artinya :

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (Q.S. An-Nur/24: 31)

Setelah turunnya ayat di atas, bentuk jilbab yang biasa dikenakan oleh perempuan muslim kemudian diubah, sehingga tampak berbeda dengan model jilbab yang digunakan oleh perempuan Arab non Muslim pada umumnya. Sebagaimana terlihat pada kalimat وَلۡيَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِ نَّ yang memerintahkan perempuan untuk mengenakan jilbab hingga menutupi bagian dadanya.Pada masa jahiliyah, model jilbab yang digunakan perempuan Arab adalah menjulur kebelakang dan tidak menutupi bagian leher dan dadamereka, sehingga nampak perhiasan dan belahan dadanya.Model berpakaian yang seperti ini, jelas akan menyebabkan eksploitasi seksual terhadap mereka sendiri. Karenanya, seorang perempuan harus berpakaian dengan cara yang bermartabat, sebagaimana diperintahkan kepada isteri-isteri Nabi, yang dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzab ayat 33.

Tinggalkan komentar